Kuda hitam perkasa
Drung, puanggg !!! Gemah dari alat berat Belanda yang membabi buta. "ada serangan, ada srangan, lari-lari" teriakan warga desa, "Semua lari ke gunung cepat, arah  kamintong!" terikan kepala desa sambil memukul palakat (bambu yang digunakan untuk pengumuman).
Belanda mengamuk, lagi-lagi karena segerombolan kolompok kecil pribumi di Tondano yang menginginkan keadilan tentang perpajakan dan gaji mereka. Berusaha untuk menyetarakan apa yang mereka kerjakan dengan apa yang mereka dapatkan. Memang nasib sial orang pribumi.
Sam, dikala itu masih sangat muda adalah warga desa Tondano, kini untuk sementara waktu tidak melanjutkan sekolahnya karena serangan dari Belanda terhadap warga Tondano menghancurkan sekolah dan sebagaian besar rumah-rumah warga. Meskipun demikian Sam tetap mendapatkan pelajaran dari ayahnya yang adalah seorang guru dari sekolah Hoofden School yang ada di Tondano.
Ketika perang berlangsung Sam dan kedua orang tuanya mendapatkan tempat yang aman, berbeda dengan warga yang lain. Pak Jozias sebagai seorang guru senior di sekolah tempat dimana ia mengajar membuatnya layak diperhatikan Belanda dan mendapatkan tempat yang cukup aman. Ibu Sam namanya Agustina adalah seorang penjahit tulen yang biasa juga menjahit baju-baju yang dipakai pasukan tentara Belanda.
Setelah dua tahun berlalu keadaan mulai mereda. Belanda kelihatannya sudah tidak terlalu menaru perhatian yang kusus kepada orang-orang yang ada di gunung dan mereka yang membawa makanan bagi keluarganya di Kamintong.
"Sam, kamu harus membawa makanan ini untuk om Utu teman papa, dia ada di gunung Kamintong bersama keluarganya, mereka bersembunyi dari tentara Belanda, Nanti om Alo akan menemanimu Sam, kudanya cukup kuat untuk dua orang" kata ayah Sem sembari memegang rantang yang berisi umbi-umbian, "pa, gimana kalau tentara belanda tahu?" kata Sam sambil berbisik didepan telinga kiri Pak Mesak. "tenang om Alo, ahlinya mengelabui orang" sahut Ayahnya. Rupa-rupanya om Alo salah satu pasukan kusus yang tergabung dalam Jong Selebes (Pejuang Pemuda Sulawesi). Hari itu tepat jam delapan pagi berangkatlah Sam dan Om Alo dengan menggunakan kuda hitan yang perkasa itu, begitulah om Alo menyebut kudanya.
Sembari dalam perjalanan Sam yang kini telah berusia empat belas tahun kelihatanya adalah waktu yang tepat bagi om Alo untuk menanamkan jiwa nasionalis kepada orang muda ini, kepiawayan dan kecerdasannya membuat om Alo ingin secepatnya menanamkan apa arti nasionalis bagi Sam. Kira-kira dipertengahan perjalanan di desa Toliang om Alo mulai mengangkat cerita
"dulu negeri kita ini makmur kaya akan sumber daya alamnya" kata om Alo, sambil memegang tali penyetir kuda dan sedikit menekan kata dulu.
"kok dulu? Memang sekarang berbeda, kan negeri kita ini salah satu negeri penghasil kopra, cengki, dan pala terbesar di Nusantara?" sahut Sam dengan tanda tanya dan kelihatannya sedikit bingung dengan argumen om Alo.
"benar! Sam, kita kaya sampe sekarang tapi tidak makmur lagi, sekarang Belanda berkuasa dinegeri kita ini, kamu tidak baca depan kantor VOC ada tulisan 'anjing dan priibumi dilarang masuk' itu berarti kita orang pribumi setara dengan anjing bagi orang-orang hidung belang itu" oh jiwa om Alo seakan-akan membara dan memaknai perkataannya.
 "sudah ratusan tahun, Belanda menduduki negeri kita ini Sam, bayangkan sudah berapa banyak emas dan perak yang mereka curi, ohh mungkin suda seperti gunung Kamintong yang kita akan daki ini, oh atau mungkin sudah selebar danau Tondano ini Sam. Dan rumah kita masih beratapkan daun seho (daun aren) sedangkan mungkin atap rumah mereka sudah beratapkan permata" sambung kata om Alo dengan tegas.
 Sam merenung sejemak dan berkata "itu bukan urusanku, aku hanya anak kemarin sore yang baru tahu tentang kuda hitam dan baru tahu tentang apa yang akan aku jalani hari ini". Kata om Alo "tidak Sam, kamu sudah dewasa".
 "bahkan aku tidak tau apa itu dewasa" dengan berani Sam menghimpitkan kalimat om Alo. Sam sengaja mengatakan seperti itu supaya om Alo diam dan dan tidak membahasnya lagi. Lagipula om Alo bukannya fokus ke depan karena hampir-hampir kudanya terantuk batu, karena om Alo tidak memegang tali kendali dengan baik.
 Namun dengan nada yang pelan yang sedikit menghasut untuk meminta maaf karena perkataannya tadi yang kurang sopan bagi anak seusianya yang sebenarnya harus tunduk kepada orang yang lebih dewasa Sam berkata " jadi om apa yang harus kita lakukan, dan apa yang harus diperjuangkan untuk negeri ini, bukankah orang Belanda lebih kuat dari kita bahkan merek memiliki senjata dan meriam yang cukup janas itu, bukankah mereka yang sudah membuat sekolah-sekolah bagi pribumi dan bukankah ada banyak pribumi yang menjadi anggota mereka?"
Om Alo tertawa dan tersenyum manis bukan karena mendengar Belanda yang diangkat dalam argumennya Sam tetapi kerena betapa tahunya Sam akan hal itu yang membuktikan bahwa Sam bagi om Alo bukan anak-anak lagi, "Sam dari perkataanmu itu sudah mengisyaratkan kalo kamu mengerti situasi dan kondiri negeri kita, dan kamu bukan anak-anak lagi" sambung om Alo dengan suara yang sedikit pelan karena ditengah desa "yang kita harus lakukan adalah merebut negeri kita yang tercinta ini" dan sambil menghirup udara segar.
Perjalanan yang ditempu om Alo dan Sam sekitar tiga jam sampai pada lereng gunung kamintong yang tepatnya di desa Eris. Gunung Kamintong adalah gunung di pesisir danau Tondano yang mana oleh belanda dijuluki sebagai Triang D, dalam perjalanan ini Sam menikmati pemandangan dan kekayaan alam sekitar danau Tondano ini, Â sampai di lereng gunung kuda hitan milik om Alo sudah tidak bisa lagi dipakai untuk mendaki karena terlalu terjal dan banyak lubang-lubang bekas bom-bom belanda di gunung Kamintong, kuda hitam perkasa kesayangan om Alo terpaksa dititipkan di desa eris salah seorang warga yang juga adalah seorang anggota Jong Selebes, teman dari om Alo.
- Sekolompok tentara hidung belang
Naas, sementara dalam perjalanan pendakian disebela barat gunung Kamintong, Sam dan Om Alo tiba-tiba bertemu dengan sekelompok tentara Belanda yang datang dari sebela selatan gunung kamintong. Door! Tembakan dari tentara belanda kepada Sam dan Om Alo.
 "Sam! Sembunyi dibalik pohon yang besar itu" teriakan om Alo dengan nyaring dan kaget karena tembakan itu, padahal Sam hanya berdiri di sampingnya.
dengan sangat takutnya Sam langsung berlari dibelakang pohon yang besar itu sambil memegang rantang yang berisi makanan dia bersembunyi.
 Door! Pang! Pang! Door! Bunyi senjata dan pistol dari tentara Belanda yang tertuju pada om Alo, dengan lihainya om Alo tidak menyerah namun mengambil posisi yang tepat untuk membalas bidikan demi bidikan, peluru yang keluar dari tentara Belanda. Om Alo dengan tidak gentarnya berusaha melawan Belanda dengan pistol yang dimilikinya, dengan kelincahan dan ketepatan om Alo berhasil membidik dan mengenai sasaran, satu orang tentara Belanda mati tertembak, dan kini jumlah mereka tinggal enam orang, peluru yang ada dalam pistol Om Alo tinggal tiga lagi.
Om Alo tau bahwa dia tidak akan menang melawan tentara berhidung belang itu, dengan peluru yang jumlahnya tinggal tiga saja, dibandingkan dengan senapan yang dimiliki tentara Belanda itu yang sekali tembak dapat menghancurkan cabang-cabang pohon. dengan situasi yang sangat tegang ini om Alo memberi kode kepada Sam untuk pergi lari dari daerah pertempuran itu "Sam meimou tole, tiamou manggenang nyaku tole, meimou ko ka amiyan!" (Sam pergi saja, jangan hiraukan om, pergilah ke arah utara!) teriakan om Alo dalam bahasa Toulour (bahasa suku). Karena bahasa toulour adalah bahasa yang tidak dimengerti oleh tentara Belanda.
Sam hanya terdiam dan kaku, dibalik pohon yang besar itu dia mengintip om Alo yang sedang berjuang dan tidak menghiraukan kode dari om Alo itu, tembakan demi tembakan dilantunkannya kepada musuh, tetapi sehebat-hebatnya om Alo perlengkapan yang dimilikinya kurang, bahkan pelurunya habis. Disebela barat penuh lobang dan jurang, disebelah selatan arah musuh, disebelah timur pegunungan daerah persembunyian warga dan disebelah utara tempat persembunyian Sam.
Om Alo tidak ada jalan untuk melarikan diri, menghidar dari musuh dan bidikan-bidikan peluruh yang datang, dengan tekad dan keyakinan yang kokoh om Alo tetap memilih berdiri tegap walau peluru-peluru datang melumuri seluruh tubuhnya dan sambil berteriak "I Yayat U Santi" yang adalah semboyan orang Minahasa .
Sam yang menyaksikan kejadian itu dibalik cela kecil pohon tempat dia bersembunyi, menjadi sangat sedih dan menagis sambil menggigit baju yang dipakainya karena takut kedengaran oleh Belanda. Datanglah tentara-tentara Belanda itu ke arah mayat om Alo yang sudah terbaring berlumuran darah, yang satu sambil menggendong teman mereka yang mati ditembak om Alo, setelah mereka melihat mayat itu, mereka kembali ke arah dari mana mereka datang.
Dari cerita mereka, Sam yang mengerti bahasa Belanda pun mengerti apa yang mereka bicarakan. Sam baru tahu bahwa om Alo adalah salah satu dari orang pribumi yang sangat diincar-incar Belanda, karena dia salah satu dari Jong Selebes yang memperjuangkan kemerdekaan dan adalah pelopor dari Sumpa Pemuda di Hindia-Belanda. Dengan hal itu Sam sadar ternyata om Alo adalah orang yang penting dan tugas-tugasnya bersifat khusus, karena itu tidak diragukan lagi argumen om Alo dalam perjalanan mereka untuk membela mati-matian negeri Minahasa dan menghujat mati-matian si hidung belang itu dan keahliannya berperang.
Tepatnya jam dua belas siang Sam menguburkan om Alo, dengan terbahat-bahat dia menangis sambil menutupi mayat itu di lubang bom dan berpesan di depan kubur itu "Nyaku tuama Minahasa, Sam Ratulangi siap untuk melanjutkan perjuangan mu yang luhur ini, I yayat U Santi". Arloji yang selalu dipegang om Alo kini ada di tangan Sam dan kini menjadi miliknya, seakan-akan memberi pesan kepada Sam bahwa perjuangan om Alo berpinda tangan. Karena berbicara waktu bagi orang-orang Minahasa adalah kesempatan kedua yang telah diberikan Sang Pencipta.
Sam melanjutkan perjalanannya dengan ditemani oleh arloji dan rantang yang digenggamannya, hari masih siang, tenga hari buta. Dengan sedih yang berat dan jiwa yang membara dalam perjalanan Sam merenungkan apa yang telah terjadi di depan matanya itu. Sekejab telah merubahnya dari anak yang tidak tau apa-apa tentang negeri dan anak yang tidak mau tahu menahu dengan perjuangan kini menjadi anak yang berjiwa nasionalis dan yang ingin memperjuangkan kemerdekaan pribumi. Dalam perjalanan, Sam melantunkan nyayian senjah:
Saah ku witumou sasengkotan, tia mou manggenang-genang sayang, lengsoputih sinujian ngaranta, indono kaliuran kariaku, oh sayang, oh sayang, oh sayang indono kaliuran kariaku, tia mou, tia mou, tia mou sumero mowalina karia ku. (bercerita tentang seorang sahabat 'karia' sangat baik yang telah pergi)
Sambil meneteskan air mata Sam mengulang-ulang kembali nyanyian ini hingga tiba ditempat persembunyian warga di sebelah timur gunung Kamintong. Setibahnya di markas yang dijuluki oleh orang pelarian nama tempat itu adalah Kampung Wowo 'kampung bisu' karena sampai saat ini belum terlacak oleh Belanda. enam jam perjalanannya dari desa Eris tempat dimana kuda hitam perkasa om Alo dititipkan hingga sampai dikampung Wowo.
- Isi pesan dari rantang dan ubi
Sam, diperhadapkan lagi-lagi dengan segorombolan orang yang membawa obor dari dalam hutan dan karena hari sudah mulai malam jam enam sore, cahaya matahari sudah ditutupi oleh pepohonan lebat, Sam tidak dapat melihat dengan jelas lagi dan memilih diam mati kutu disergap segerombolan orang itu. oh untungnya mereka adalah penjaga yang ditugaskan untuk menjaga pintu depan kampung Wowo, salah seorang langsung mengenal Sam dan berkata "ohh karia, ternyata kamu sudah bertumbuh besar".
Sam dengan ekspresi yang tiba-tiba berubah dari ketakutan menjadi gembira itu langsung memeluk Arnol yang adalah teman sekelasnya dulu "Arnol, apakabar kamu pun sudah tumbuh dewasa dan sudah makin kekar, lama tak jumpa" sahut Sam.
 "apa kabar mner Deker Sam?" kata Arnol,
 "baik sangat baik, dia masih seperti dulu, mistarnya tidak perna lepas saat mengajar" kata Sam sembari mengulurkan dan menggambarkan tangan yang selalu memukul dengan mistar sewaktu sekolah dulu. "em.. rindukah kamu pada mner?" tanya Sam.
dengan senandung lirik kalimat yang nadanya pelan dan tak beraturan dilantunkan Sam "emm aku rindu sama pelajarannya Sam, aku rindu ilmu" dengan tidak menghiraukan sapa canda yang dilantunkan Sam, Arnol menjawab tak kuasa.
Oh betapa mereka saling berpelukan dan menangis sangat kencang sehingga tidak menghiraukan lagi situasi dan keadaan mereka yang dalam persembunyian itu, teman-teman Arnol yang lain berusaha membujuk dan menguatkan mereka berdua.
Masuklah Sam di kampung Wowo, akhirnya bertemu dengan om Utu sahabat dari ayahnya dan menceritakan apa yang telah terjadi sepanjang perjalanannya untuk membawa rantang kepada om Utu. Sebenarnya rantang yang berisikan umbi-umbian itu sangatlah tidak masuk akal, karena dipegunungan ada banyak ubi-ubi dan orang di kampung Wowo tidak akan mati kelaparan karena cukup banyak ubi yang ditanam mereka.
Sam sebenarnya cukup heran dengan hal itu. Sehingga bertanya kepada om Utu bahkan menyimpan sedikit malu berkata "om Utu maaf ya, mungkin papa tidak tahu kalau warga disini pun menanam umbi-umbian, kalau tahu mungkin yang disuru bawa itu beras atau pun makanan lain"
Namun Sam mendapatkan penjelasan dari om Utu, Sam baru mengerti. Om Utu menjelaskan bahwa rantang sejatinya melambangkan benteng atau perlindungan, sedangkan umbi-umbian melambangkan kesuburan atau kebebasan. Dengan demikian om utu menyimpulkan bahwa rantang yang berisi ubi adalah pesan bagi orang-orang yang berada di kampung Wowo, Yang mengisyaratkan bahwa situasi keadaan di Tondano sudah kembali aman orang di kampung Wowo sudah dapat kembali untuk menata dan membangun kembali apa yang telah dirusakan Belanda dua tahun silam.
Setelah makan bersama-sama denga warga yang ada dalam persembunyian itu, Sam memperhatikan betapa mereka hidup rukun dan damai walaupun mereka hidup di hutan dan dikejar-kejar oleh Belanda. Dengan diterangi oleh rembulan dan lolouren (bulan dan bintang) acara jamuan makan dilakukan, ada larangan tidak bole menyalakan api ketika dalam persembunyian.
Malam pun berlalu, pagi hari telah tiba. Sam sambil melihat matahari terbit persis disebelah timur batu besar tempat dimana dia duduk, merenungkan kembali kejadian kemarin, betapa demi membawa pesan yang bentuknya rahasia dan penuh dengan simbol itu seorang harus merenggut nyawanya demi pesan itu tersampaikan, Sam masih bertanya-tanya kenapa dia yang diutus oleh ayahnya datang ke kampung Wowo ini, beberapa jam berlalu dia tetap merenung dan tiba-tiba dia mengerti maksud kenapa ayahnya mengutusnya adalah agar supaya warga yang berada di kampung Wowo percaya dengan pesan yang disampaikan ayahnya itu. Sam tersenyum dan penuh tanda-tanya merenung dan menyimpulkan bahwa ternyata rantang dan ubi tidak cukup untuk meyakinkan warga kampung Wowo tetapi harus dengan kehadiran seseorang yang dapat dipercaya.
Namun sebenarnya yang dimaksud ayahnya menyuruh Sam pergi bukan seperti yang disimpulkannya itu tetapi supaya Sam mengetahui keadaan diluar seperti apa dan bagaimana hidung belang itu memperlakukan pribumi dan seperti apa keindahan negerinya dan betapa berharganya negerinya itu sehingga harus diperjuangkan kembali. Walaun Sam belum berpikir sampai disini setidaknya Sam sudah ditanamkan jiwa nasionalis oleh almarhum om Alo yang adalah seorang pejuang negeri.
Dalam perjalanan pulang Sam dan seenteru warga yang ada di kampung Wowo berjalan dengan tapak kaki yang telanjang, untuk memaknai perjuangan yang telah dilakukan oleh om Alo dan adalah wujud dari rasa kehilangan mereka kepadanya, sara berduka itulah yang dihayati mereka. Sam dan segerombolan warga yang baru keluar dari persembunyian hampir dua tahun lamanya itu merasa takut dan berjaga jangan-jangan Belanda berada di pedesaan dan mengetahui pergerakan Warga Wowo.
Setibanya di ujung perkebunan desa Eris mereka melihat orang banyak berkumpul di desa Eris, sepertinya sedang merayakan sesuatu, Sam Dam orang-orang dari pegunungan Kamintong itu pun memberanikan diri memasuki perkumpulan warga desa itu. Ternya mereka sedang merayakan kemengan akan surat perdamayan yang diberikan oleh Belanda kepada semua suku-suku yang berada di Minahasa. Akhirnya Sam pun ikut bergabung dengan semua warga yang ada, mereka disambut dengan hangat oleh warga desa bahkan setelah mendengar surat yang diberikan oleh Belanda kepada Minahasa semua orang yang keluar dari gunung Kamintong pun senang dan ikut merayakan hari perdamayan itu.
Suasana di desa Eris hari itu sulit tergambarkan, dari kegembiraan mereka akan perjanjian perdamayan dengan Belanda juga saudara-saudara se-suku mereka yang pulang ,wujud dari kebebasan hutan neraka dan dikejar-kejar hutang nyawa oleh Belanda.
"Sam apa kabar?" tanya om Mesak sambil menepuk pundak kiri Sam dari belakang.
Dengan bahasa tubuh yang gelisa Sam menoleh "eh, om Mesak kabar baik om, tapi tak sebaik hari kemarin" nada sendu layu pun terucap.
"hahaha, tidak usa kaget seperti itu juga" kata om Mesak, "kok dari tadi om perhatikan om Alo batang hidungnya tidak kelihatan? Apa mungkin dia langsung pergi melihat kuda kesayangannya itu" sambil menggaruk kepala om Mesak melanjutkan cerita "mungkin dia takut Kudanya kenapa-napa, padahal kemari om Mesak sudah memberikan kuda itu perawatan seperti kuda-kuda di kantor Gubernur Jendral trus kasih makan yang banyak dan memandikannya juga".
Jawab Sam dengan sangat sedih dan mata yang berkata-kaca "om,,, om Alo bukan mencari kuda hitam perkasanya tapi dia sedang tidur di pangkuan gunung Kamintong itu, bergabung bersama-sama dengan leluhur dan serpahan emas yang berada dalam inti bumi"
"Sam, jangan pakai bahasa puisi om tidak mengerti apa maksudnya 'bersama-sama dengan leluhur' sam?" kata om Mesak dengan raut waja yang penuh dengan tanda tanya.
"om Alo ku kuburkan di lobang bom Kamintong, om Alo mati ditembak Belanda kemari waktu kami berdua pergi ke kampung Wowo, ada sekitar tujuh tentara Belanda yang berhadapan dengan kami di gunung" jawab Sam kaku.
Dengan tidak percayanya om Mesak bahwa teman seperjuangannya telah mati, dan dengan sedi menuturkatakan "oh Alo jiwa beranimu yang berkobar-kobar itu masih terasa sampai hari ini, adakah yang hilang darimu? Tidak tidak dan tidak kamu pergi tapi semangatmu yang kau tinggalkan akan melahirkan jiwa-jiwa yang berkobar-kobar sepertimu yang siap mengguga orang-orang hidung belang itu! Tenang Alo cita-cita kita masih dalam genggaman kami yang masi berjuang ini. Slamat beristirakat teman baik" sambil menurunkan ke dua tangannya om Mesak berkata pada Sam "padahal orang itu lebih gila dari kuda hitamnya tapi dia pergi, kemarin seperti salam terakir darinya untuk menitipkan kuda itu, karena kemari dia sempat berkata 'kamu Mesak orang satu-satunya yang kupercayakan menjaga kuda ini, kasih makan ya'" sembari menangis dengan hormat, membusungkan dada menarik napas berdiri tegak, tetapi dengan mata yang berlinang air mata, om Mesak berusaha mengendalikan kesedihannya.
- Grilia "empat kali empat"
Sampailah Sam bersama-sama dengan warga Tondano yang baru keluar dari persembunyian mereka disebelah timur gunung Kamintong. Sebelum memasuki Tondano masih dipertengahan persawahan kampung Touliang  om Utu membagi warga kampung wowo dengan empat kelompok, disetiap kelompok terdapat satu pemimpin yang memimpin jalan untuk masuk ke tondano dan anggota rata-rata berjumlah seratus anggota. Sam bersama-sama dengan kelompok terakhir yaitu kelompok yang dipimpin langsung oleh om Utu. Pembentukan kelompok ini karena mengantisipasi supaya pergerakan ini tidak tercium oleh belanda dan tentunya mengantisipasi terjadinya penyerangan.
Om Utu menemukan strategi empat kali empat itu dibalik segi persawahan yang kala itu memang berbentuk kotak. Kelompok satu dan dua berjalan lebi dulu jaraknya dua ratus meter jaunya dari kelompok tiga dan empat. Semua kelompok memiliki jarak sudut sekitar duaratus meter, dengan demikian kelompok satu dan tiga berjalan di jalan trans antara Tondano dan Eris sementara kelompok dua dan empat berjalan disebela kiri, arah utara Danau tepatnya di persawahan milik VOC.
Dengan strategi empat kali empat ini semua kelompok dapat memberi isyarat siapa yang memadai dan kalaupun terjadi penyerangan diantara kelompok satu kelompok yang lain dapat membantu dari sudut yang lain. Ituah grilia ala om Utu. Namun sepanjang perjalanan tidak didapatinya pergerakan musuh oleh karena bertepatan malam natal tanggal 24 desember 1904. Kelompok satu dan tiga melanjutkan perjalanan mereka dari tondano langsun menuju tousea dan bermukim disana.
Sedangkan kelompok dua dan empat kempali keperkampungan awal mereka di Tondano, mereka tidak disambut dengan meria oleh kepala desa yang ada karena perjalanan mereka adalah misi rahasia, namun setibanya di Tondano warga kampung wowo yang kini sudah memiliki status tempat tinggal mereka yang asli, memilih untuk kembali ke rumah keluarga mereka daripada tinggal untuk sementara waktu dirumah pastor Jhon dekat Gereja Sentrum Tondano.
Sam dan temannya Arnol yang baru bertemu setelah dua tahun lamanya terpisa ditenga perjalanan Eris Toliang sebelum masuk Tondano telah mengikat perjanjian karena Arnol akan melanjutkan perjalanannya ke Tousea.
"Arnol bilamana kita bertemu lagi maukah kamu berjanji" kata Sam dengan sunggu. "berjanji apa?" tanya Arnol. "berjanji jika kamu takan membidik senapanmu itu dikepalaku" sambung Sam. "kenapa aku harus membidiknya Sam?" sambil berhenti sejenak dalam perjalanan mengajukan pertanyaan itu pada Sam, "karena mungkin nanti aku menjadi bagian dari mereka" jawab Sam. Arnol bertanya lagi "mereka siapa? Belanda? Kenapa jadi bagian dari mereka?" tanya Arnol dengan serius. Jawa Sam "karena tahun depan, Januari aku berangkat ke Newderland melanjutkan sekolahku disana". Dengan menepuk pundak kiri Sam Arnol menjawab "emmm Sam, Sam, malahan aku kan berdoa dengan sunggu untuk hal itu". Dengan terkejutnya Sam berkata "jadi kamu akan menembakku? Dan sudah berdoa akan hal itu?"
"hahahaha dasar teman satu ini, bisa-bisanya kali ini tidak mengerti maksudku, aku akan mendoakanmu Sam untuk pergi ke Newderlan dan bersekolah disana oke" sambung Arnol dengan berbisik ditelinga kanan Sam "karena nasib orang-orang pribumi ada ditangan orang-orang sepertimu Sam". Dengan heran Sam berpikir sejenak dan menjawa Arnol "maukah kamu ikut dengaku Arnol?", sambil tersenyum Arnol menjawa "aku tunggu kamu disini saja, supaya saat kamu siap kembali dari Newderlan aku sudah punya cukup pengaruh dari pribumi untuk melakukan pergerakan melawan VOC".
Tiba-tiba terdengarlah pembicaraan mereka sampai ditelinga om Utu yang kira-kira berjalak lima meter dari barisan mereka itu, "emmm ele, ele memang ya kalian tole-tole tinggi sekali mimpi kalian, untuk membebaskan kita dari VOC" sambung om Utu dengan tegas namun bersahabat "kalu begitu lanjutkan, lanjutkan apa yang menjadi cita-cita kalian" sambil merangkul mereka berdua om Utu berkata "kita harus membentuk empat kelompok, karena sudah masuk desa Touliang dan kamu Arnol slamat berpisa ya, hati-hati dalam perjalananmu".
Setelah berjumpa denga kedua orang tuanya Sam menceritakan semua yang sudah terjadi mulai dari almarhum om Alo sampai pada grilia om Utu. Sehingga 25 desember yang harusnya adalah hari kesukaan setiap orang Kristen menjadi hari berduka bagi seluruh keluarga Sam. Ditempat tidurnya, Sam merenungkan kembali apa yang telah terjadi selama perjalanan tiga harinya itu. Pergi menggunakan kuda hitam dan dikawali oleh seorang pahlawan yang gaga perkasa, pulang dengan berjalan kaki dan bersama gerombolan orang dari persembunyian membentuk strategi bertempur empat kali empat dalam perjalanan pulang. Dalam buku hariannya Sam menulis:
bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H