Kuda hitam perkasa
Drung, puanggg !!! Gemah dari alat berat Belanda yang membabi buta. "ada serangan, ada srangan, lari-lari" teriakan warga desa, "Semua lari ke gunung cepat, arah  kamintong!" terikan kepala desa sambil memukul palakat (bambu yang digunakan untuk pengumuman).
Belanda mengamuk, lagi-lagi karena segerombolan kolompok kecil pribumi di Tondano yang menginginkan keadilan tentang perpajakan dan gaji mereka. Berusaha untuk menyetarakan apa yang mereka kerjakan dengan apa yang mereka dapatkan. Memang nasib sial orang pribumi.
Sam, dikala itu masih sangat muda adalah warga desa Tondano, kini untuk sementara waktu tidak melanjutkan sekolahnya karena serangan dari Belanda terhadap warga Tondano menghancurkan sekolah dan sebagaian besar rumah-rumah warga. Meskipun demikian Sam tetap mendapatkan pelajaran dari ayahnya yang adalah seorang guru dari sekolah Hoofden School yang ada di Tondano.
Ketika perang berlangsung Sam dan kedua orang tuanya mendapatkan tempat yang aman, berbeda dengan warga yang lain. Pak Jozias sebagai seorang guru senior di sekolah tempat dimana ia mengajar membuatnya layak diperhatikan Belanda dan mendapatkan tempat yang cukup aman. Ibu Sam namanya Agustina adalah seorang penjahit tulen yang biasa juga menjahit baju-baju yang dipakai pasukan tentara Belanda.
Setelah dua tahun berlalu keadaan mulai mereda. Belanda kelihatannya sudah tidak terlalu menaru perhatian yang kusus kepada orang-orang yang ada di gunung dan mereka yang membawa makanan bagi keluarganya di Kamintong.
"Sam, kamu harus membawa makanan ini untuk om Utu teman papa, dia ada di gunung Kamintong bersama keluarganya, mereka bersembunyi dari tentara Belanda, Nanti om Alo akan menemanimu Sam, kudanya cukup kuat untuk dua orang" kata ayah Sem sembari memegang rantang yang berisi umbi-umbian, "pa, gimana kalau tentara belanda tahu?" kata Sam sambil berbisik didepan telinga kiri Pak Mesak. "tenang om Alo, ahlinya mengelabui orang" sahut Ayahnya. Rupa-rupanya om Alo salah satu pasukan kusus yang tergabung dalam Jong Selebes (Pejuang Pemuda Sulawesi). Hari itu tepat jam delapan pagi berangkatlah Sam dan Om Alo dengan menggunakan kuda hitan yang perkasa itu, begitulah om Alo menyebut kudanya.
Sembari dalam perjalanan Sam yang kini telah berusia empat belas tahun kelihatanya adalah waktu yang tepat bagi om Alo untuk menanamkan jiwa nasionalis kepada orang muda ini, kepiawayan dan kecerdasannya membuat om Alo ingin secepatnya menanamkan apa arti nasionalis bagi Sam. Kira-kira dipertengahan perjalanan di desa Toliang om Alo mulai mengangkat cerita
"dulu negeri kita ini makmur kaya akan sumber daya alamnya" kata om Alo, sambil memegang tali penyetir kuda dan sedikit menekan kata dulu.
"kok dulu? Memang sekarang berbeda, kan negeri kita ini salah satu negeri penghasil kopra, cengki, dan pala terbesar di Nusantara?" sahut Sam dengan tanda tanya dan kelihatannya sedikit bingung dengan argumen om Alo.