Polemik Pilkada Gubernur Papua Barat Daya: Persimpangan Demokrasi dan Otonomi Khusus
1. Latar Belakang Konflik
Pemilihan Gubernur Papua Barat Daya tahun ini diwarnai dengan berbagai tantangan yang membayangi proses demokrasi. Polemik muncul sejak Komisi Pemilihan Umum (KPU) Papua Barat Daya menetapkan pasangan calon yang statusnya bukan Orang Asli Papua (OAP). Hal ini menimbulkan protes keras dari Majelis Rakyat Papua (MRP), lembaga pelindung hak-hak OAP, yang mengklaim keputusan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Otonomi Khusus.
MRP menegaskan, status OAP adalah syarat utama yang harus dipenuhi setiap kandidat. Namun, KPU meloloskan pasangan Abdul Faris Umlati (AFU) dan Kasihiw, meskipun rekomendasi dari MRP menolak mereka sebagai OAP. Keputusan ini memicu gugatan hukum, termasuk ancaman melanjutkan kasus ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Jayapura.
2. Isu Pelanggaran dan Sengketa Hukum
Selain perdebatan mengenai status OAP, salah satu Paslon dituding melanggar aturan pemilu, seperti penyalahgunaan fasilitas negara dan praktik politik uang sebelum tahapan penetapan. Meskipun Bawaslu merekomendasikan agar KPU membatalkan pencalonan Paslon tersebut, KPU tetap melanjutkan proses pemilu tanpa mengindahkan rekomendasi.
Hal ini menimbulkan tudingan bahwa keputusan KPU tidak hanya cacat hukum, tetapi juga mengabaikan prinsip keadilan demokrasi di wilayah dengan kekhususan seperti Papua.
3. Dinamika di Lapangan: Demonstrasi dan Keamanan
Proses pilkada juga dipersulit oleh aksi demonstrasi yang dilakukan berbagai kelompok masyarakat. Para pendukung dan penentang pasangan calon tertentu turun ke jalan, menuntut pembatalan keputusan KPU atau mengkritisi keterlibatan MRP. Demonstrasi ini memicu kekhawatiran tentang keamanan, terutama di wilayah yang rentan terhadap konflik horizontal.
4. Tantangan Demokrasi di Papua Barat Daya