Langit senja berwarna jingga memeluk stasiun yang sepi. Rara duduk di bangku kayu tua, menggenggam tiket kereta yang sudah lecek. Matanya terpaku pada rel kosong, menunggu janji yang terucap dua tahun lalu.
Detik demi detik berlalu. Saat suara roda kereta tiba-tiba memecah keheningan, Rara langsung menegakkan tubuhnya. Kereta akhirnya tiba, tetapi sosok yang ia harapkan tak muncul. Hanya seorang kondektur yang mendekatinya, membawa amplop cokelat yang membuat jantungnya berdegup kencang.
Dua tahun lalu, di kereta malam menuju Surabaya, Rara pertama kali bertemu Andra. Ia masih ingat, Andra terlihat sibuk membaca buku kecil tentang sejarah kereta api di Indonesia. Waktu itu, Andra menyebutkan bahwa kereta pertama kali beroperasi di Indonesia pada tahun 1867, di jalur Semarang-Tanggung, dan merupakan hasil rancangan perusahaan Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS). Rara yang sebelumnya tak pernah tertarik dengan sejarah kereta mendadak larut dalam ceritanya.
"Desain kereta api ini, jenis lokomotifnya, itu unik lho, Ra," kata Andra kala itu sambil menunjuk lokomotif D301 yang membawa mereka, buatan Jerman dari tahun 1950-an. "Dulu penemunya, George Stephenson, nggak pernah nyangka kalau mesin uap pertama di Inggris bakal berkembang dan sampai ke seluruh dunia," lanjutnya.
Rara tak hanya kagum pada informasi yang Andra bagi, tapi juga pada cara lelaki itu mengisahkannya. Baginya, Andra seperti hidup di dunia lain, penuh rasa penasaran dan detail kecil yang menarik. Dari percakapan kecil tentang desain kursi, warna kereta, hingga bagaimana rel kereta dibangun untuk mencegah korosi, Rara merasa mereka berbagi dunia yang penuh cerita.
Mereka sering bertemu di kereta yang sama, hingga akhirnya, Andra mengajukan ide penuh misteri, "Rara, gimana kalau dua tahun lagi, kita ketemu di stasiun Blimbing? Kalau kita masih sendiri, kita tahu apa yang harus dilakukan."
Rara masih teringat betapa seriusnya Andra saat itu. Setuju atau tidak, ia tetap mengangguk, meski tak tahu apa yang akan terjadi.
Perlahan, dengan tangan gemetar, Rara membuka amplop dari kondektur. Di dalamnya hanya ada selembar kertas dengan tulisan singkat:
"Rara, maafkan aku. Dua tahun ini aku berusaha memenuhi janji, tapi takdir berkata lain. Jika kamu masih ingin bertemu, aku akan menunggumu di ujung perjalanan ini. Jangan lupa senyum yang selalu kamu beri untukku. Andra."
Di antara air mata yang jatuh membasahi surat itu, Rara tersenyum kecil, mengingat setiap detail yang pernah Andra ceritakan. Kereta, perjalanan, sejarah... Semuanya adalah bagian dari kenangan yang tak pernah ia lupakan. Di balik roda besi dan deret rel, ternyata ada kisah cinta yang terselip di dalamnya, kisah tentang janji dan penantian yang mengajarkannya bahwa pertemuan di dunia kereta tak pernah sia-sia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H