Pendahuluan
Penangkapan mantan pejabat Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar, oleh Kejaksaan Agung mengejutkan publik. Barang bukti berupa uang hampir Rp 1 triliun dan emas batangan seberat 51 kg ditemukan di kediamannya, yang mengindikasikan adanya dugaan praktik suap besar-besaran dalam pengurusan kasus di peradilan Indonesia. Berdasarkan hasil penyidikan, Zarof disebut telah menjadi "Markus" atau makelar kasus selama lebih dari satu dekade, sejak tahun 2012 hingga pensiun pada 2022. Keterlibatan Zarof dalam "mengurus" putusan bebas untuk Gregorius Ronald Tannur hanya bagian kecil dari praktik yang telah lama ia jalankan.
Masyarakat bertanya-tanya, jika Zarof "bernyanyi" atau mengungkap seluruh jaringan dan oknum yang terlibat dalam praktik ini, seberapa dalam dampaknya bagi sistem hukum di Indonesia? Apakah akan mengungkap bahwa korupsi di lembaga peradilan sudah begitu masif dan terstruktur? Opini ini berusaha membahas kemungkinan besar yang akan muncul jika Zarof Ricar mengungkap seluruh keterlibatan selama 10 tahun ia menjadi Markus.
Baca juga: Asa di Tubuh Korps Adhyaksa
Mengapa Pengakuan Zarof Bisa Mengguncang Dunia Peradilan?
Dalam kasus besar seperti ini, pengakuan seorang "pemain utama" seperti Zarof akan membuka banyak pintu rahasia di dalam sistem peradilan. Ia adalah mantan pejabat di lembaga tertinggi penegak hukum, yang memiliki akses luas ke banyak jaringan dan wewenang. Pengakuan Zarof tidak hanya berpotensi mengungkap nama-nama individu yang terlibat, tetapi juga menguak pola korupsi dan bagaimana Markus bisa mengatur pengadilan untuk meloloskan atau meringankan vonis terdakwa yang seharusnya bertanggung jawab.
Jika Zarof memilih untuk membuka mulut, ia kemungkinan besar akan mengungkapkan nama-nama hakim, jaksa, hingga advokat yang terlibat dalam jaringan Markus ini. Pengakuan seperti itu juga akan mengonfirmasi bahwa korupsi di lembaga peradilan bukan hanya dilakukan oleh satu atau dua oknum, melainkan terjadi secara sistemik dengan banyak pihak yang berkolaborasi.
Seberapa Dalam Praktik Makelar Kasus di Tubuh Peradilan?
Selama lebih dari 10 tahun, Zarof diduga menjalankan aktivitas makelar kasus secara rapi, dengan pemasukan yang fantastis. Angka hampir Rp 1 triliun yang ia kumpulkan mengindikasikan adanya transaksi besar yang dilakukan berulang kali, mungkin dengan berbagai pihak di dalam peradilan. Angka ini tidak mungkin dicapai tanpa keterlibatan atau sepengetahuan lebih banyak orang.
Apabila Zarof mengungkap nama-nama besar lainnya yang terlibat dalam lingkaran korupsi, maka potensi praktik makelar kasus bisa jauh lebih masif dari yang selama ini diketahui. Fenomena ini mengindikasikan bahwa kejahatan dalam sistem peradilan mungkin dilakukan secara kolektif, sehingga pembenahan tidak bisa dilakukan hanya dengan menghilangkan satu atau dua individu saja.
Dampak Pengakuan Zarof bagi Sistem Hukum