senja itu, buntu pikiran ini
lalu, sayup-sayup terdengar telingaku
sesosok gadis ayu rangkat melantunkan nada syair
“lalu langit menangis di sebuah senja
saat tapak kita mengukir jejak semu
dan tungku langit pun padam tiba-tiba
kutemukan diriku tlah terpenjara dalam
rapi geligimu
lembut hatimu
pun angkuhmu
dan langit pun muram seketika
saat jubah malam telah memeluk bumi
rembulan pun telah sembunyi di balik kerai
kutemukan kau tenggelam dalam
rumpukan buku
rangkaian kata
juga dalam rapuhku”
dan
syair gadis ayu itu menyentakku
aku seolah disadarkan
“puisi bisa memanggil balik kata-kata yang sejenak terlupakan
merangkai syair menarik kembali ingatan yang sempat tidur
ia bagaikan penyelam mutiara yang turun ke kaki laut
lalu membawa balik kata-kata yang sempat hilang tenggelam”
insaf soal itu,
lantas kugoreskan syair ini
“nikmati buku cinta itu
lahap bersama sentuhan rasa
huruf demi huruf
kata demi kata
baris demi baris
kalimat demi kalimat
paragraf demi paragraf
halaman demi halaman
tuntas dan tuntas
kau pun menjadi buku cinta
menebarkan aroma kasih
melingkupi-mencerahkan alam-dunia
inspirasi bagi insan manusia”
ahhh…
gadis ayu itu lebih asyik dengan larik hujannya
dia seolah-olah tak peduli dengan ocehanku
kuterpaksa kembali memasang telingaku
meresapi dan mengais syair hujannya
dan kudengar kembali lambaian baitnya
“lalu hujan gugur satu satu
tapi ia tdak mati
sungguh, aku telah jatuh cinta pada tetesnya
sejak mula ia menyisakan gigil
dan siang ini
kembali aku bercumbu dengan rinainya
merona wajah ini
saat hujan berbisik rindu”
hehehe..
sejenak kemudian
kuberanikan diri menyapanya
“hujan
ia mendinginkan hati yang panas
ia memberikan sentuhan tetes sejuk
ia menenangkan hati yang resah
ia mengguyur cumbuan rujuk
ia melembutkan jiwa yang keras
jadi
nikmati dan rasakan bisikan merdu sang hujan”
ia menatapku sejenak
dan menjawabnya
“hujan telah berlari kemarin
tergesa-gesa
katanya ada hati lain yang merindunya
menanti sejuknya
dititipkannya gigil sebagai penanda
juga sebagai jejak
bahwa ia akan segera kembali
berbisik dan meronakan wajah
kutanyakan siapa gerangan lelaki itu
sambil berlalu dia bergumam:
“saat ini dia adalah milik hati kakaku”
aku pun termenung…
lelaki itu tak lain diriku
dalam renung dan diamku
kudaraskan isi baris kata ini
“aku akan kembali menari bersamamu dalam hujan
menaut erat tanganmu pada jari-telapak tanganku
menuntunmu menari bersama menikmati tetesan air
yang membuai kita menemukan keasyikan cinta”
***
setelah sekian lama…
setelah aku menjadi manusia bebas tanpa ikatan lagi
kukembali ingin bersua dengan hati yang kala itu menawanku
dan sore ini
kumelihatnya sedang menari bersama gerimis hujan
entah mengapa
kubalik merayunya dengan rangkai huruf tulus
“kumelangkah kembali
menyusuri jejak jalan kelanaku
mencari hati yang sempat kurasa
rasa guratannya membekas-dalam
membawaku balik ke hatinya
terrenyuh rasa ini
bila dia menungguku dalam rindu
menyisipkanku di bilik hatinya
tempat teduh bagai nirwana
akan kutaruh hatiku
menempati bilik rindunya
hatiku-hatinya
dua hati melekat-rapat satu
satu hati menjadi milik berdua
kami menuju awang
merasakan hawa surga
menikmati sepoi mesra
sahut menyahut syahdu
sihir rindu rasa menumpuk
dunia ini milik tunggal berdua”
kumemandangnya, menunggu jawaban
tapi dia hanya diam sambil mengulum senyum
ahhh…matanya menjawab“ya”
tapi aku butuh jawaban kata
dan
aku masih menunggu kata itu
_^_
Note: artikel ini (entah apa namanya..heheh) merupakan kompilasi fragmen komentar dalam bentuk puisi antaraRefo Torai dan Uleng Tepu di rangkaian kisah tulisan mengenai dan yang terjadi di Desa Rangkat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H