“Saya Sonya, Bu. Penjegal, hehehe..” Ah, Bu Erry baru ingat. Akhirnya mereka berbincang sebentar. Bu Erry memang tidak segera mengenali mantan muridnya itu, sebab saat SMP dulu dia berambut keriting dan tidak secantik sekarang.
Sonya kini telah dewasa. Dia mahasiswa kedokteran gigi di sebuah universitas ternama. Senyumnya dan senyum Bu Erry mengembang. Senyum bangga.
*******
Lima tahun lalu, dia sering berdendang diiringi langkah kecil menuju ruang praktikum. Berdendang saat mengerjakan pasien yang terbaring di kursi gigi di hadapannya. Bersenandung bahagia. Bercerita kisah hidup keluarganya yang tidak nampak sedikit pun kecacatan. Aku pun cukup tau tentang semua itu.
Sonya…musibah itu membuat dirinya amat berubah. Perputaran roda-roda kehidupan membuatnya merasakan pahitnya perjalanan. Satu persatu senyumnya bergeser menjadi muram hingga kekeruhan dalam pikirnya.
Menangis sudah tak bisa Sonya lakukan. Sonya hanya ingin melanjutkan kuliahnya. Menjadi seorang dokter seperti mimpi orang tuanya sebelum menghembuskan nafas terakhirnya akibat kecelakaan yang membawa maut itu.
“Lanjutkan sebisamu, Nak”, begitulah pesan sang Ayah.
Anggukan berat nampak terlihat saat itu. Bersamaan dengan datangnya beberapa pengacara Ayahnya. Menunjukan surat-surat ke bangkrutan usaha keluarga Sonya.
Aku mengenalnya. Sejak SMP aku sering bersamanya. Dan aku rindu canda tawanya kembali.
Beberapa kali Sonya memberi kabar padaku. Berkisah sepenggal kehidupan yang dilaluinya. Walaupun tak nampak suara cerianya. Tak terdengar lagi tawa yang menjadi cirri khasnya. Aah, aku rindu padamu Sonya.
Sejak hari di pemakaman Ayahmu, ternyata saat itulah kita terakhir bertemu di kampus. Berlarian saat dosen pembimbing kita datang ke ruangan. Berlarian mengejar untuk sebuah tandatangannya. Sebuah kenangan indah. Dan aku mengingatnya selalu.