Isu lingkungan dan keberlanjutan mendapatkan perhatian khusus dari dunia internasional dalam beberapa tahun terakhir. Salah satu persoalan lingkungan yang menjadi sorotan adalah fenomena perubahan iklim. Perubahan iklim menyebabkan peningkatan frekuensi dan intensitas peristiwa cuaca ekstrim seperti gelombang panas, kekeringan, banjir, badai, dan kebakaran hutan (UNEP, 2024). Dalam merespon hal ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merumuskan suatu perjanjian sebagai usaha untuk menangani perubahan iklim yakni Perjanjian Paris yang ditandatangani pada tahun 2016. Fokus dari perjanjian ini adalah untuk mengurangi emisi karbon yang merupakan salah satu penyebab dari perubahan iklim (Matheus et al., 2023).
Adanya komitmen pemerintah dalam mengurangi emisi karbon akan berdampak pada sektor industri karena sektor ini merupakan penyumbang terbesar dari emisi karbon di dunia. Tercatat menurut laporan Climate Accountability Institute 2020, sektor industri menyumbang 37% dari total emisi karbon dunia (Madyan, 2024). Salah satu sektor industri yang menjadi sorotan adalah industri kelapa sawit. Industri ini menghadapi sentimen negatif karena menjadi salah satu industri yang menghasilkan emisi karbon. Emisi karbon pada produksi kelapa sawit dihasilkan dari penggunaan lahan (khususnya gambut), konsumsi listrik, dan limbah cairnya berupa Palm Oil Mill Effluent (POME) (Arjuna & Santosa, 2018). Selain isu emisi karbon, industri kelapa sawit juga ditimpa isu deforestasi yang tidak mendukung pembangunan berkelanjutan (Purba & Sipayung, 2017).
Isu lingkungan ini menjadi tantangan bagi Indonesia dalam memajukan industri kelapa sawit yang merupakan salah satu industri strategis dalam negeri. Pemerintah terus berupaya dalam memastikan bahwa industri kelapa sawit dapat bertransformasi menjadi lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. Salah satu lembaga yang memainkan peran penting dalam transformasi ini adalah Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). BPDPKS adalah unit dibawah Kementerian Keuangan yang bertugas melaksanakan pengelolaan dana perkebunan kelapa sawit sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan komite pengarah dengan memperhatikan program pemerintah. Pembentukan BPDPKS merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 guna menghimpun dana dari pelaku usaha perkebunan yang selanjutnya akan digunakan sebagai pendukung program pengembangan kelapa sawit berkelanjutan (BPDPKS, 2020).
Peran BPDPKS dalam industri kelapa sawit sangat strategis karena harus dapat menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan lingkungan. BPDPKS memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa industri kelapa sawit tidak hanya memberikan manfaat ekonomi, tetapi juga mampu menjawab tantangan lingkungan global. Salah satu program yang didorong oleh BPDPKS adalah penerapan Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO).
ISPO: Mendorong Keberlanjutan di Industri Kelapa Sawit
Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO) merupakan sistem usaha perkebunan kelapa sawit yang layak ekonomi, layak sosial budaya, dan ramah lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Untuk menjamin pelaksanaan ISPO, maka dilakukan sertifikasi ISPO yang merupakan rangkaian kegiatan penilaian kesesuaian terhadap usaha perkebunan kelapa sawit yang berkaitan dengan pemberian jaminan tertulis bahwa produk dan/atau tata kelola perkebunan kelapa sawit telah memenuhi prinsip dan kriteria ISPO (BPDPKS, 2021).
Melalui penerapan prinsip dan kriteria ISPO, perusahaan produsen kelapa sawit diwajibkan untuk melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan untuk memastikan bahwa kegiatan operasional tidak merusak lingkungan dan melindungi pemanfaatan hutan alam dan lahan gambut sebagai bagian dari tanggung jawab lingkungan dan sosial perusahaan (Fahamsyah & Pramudya, 2017). Untuk mendorong penerapan ISPO, BPDPKS melakukan berbagai kegiatan seperti penyelenggaraan pelatihan teknis ISPO, diskusi terbuka, dan kampanye kreatif. Harapannya apabila produsen kelapa sawit sudah menerapkan ISPO, maka upaya membangun sawit keberlanjutan dapat dicapai dengan lancar.
Palm Oil Mill Carbon Accounting: Mengukur dan Mengurangi Emisi Karbon
Selain penerapan ISPO, BPDPKS juga bisa mendorong penerapan Palm Oil Mill Carbon Accounting (POMCFA) dalam menilai emisi karbon yang dihasilkan oleh pabrik kelapa sawit. POMFCA merupakan suatu metode yang dikembangkan untuk memberikan pendekatan kuantitatif dalam menilai emisi karbon yang dihasilkan oleh pabrik kelapa sawit. Tujuan dari POMCFA ini untuk mengidentifikasi sumber emisi karbon dari berbagai proses dalam operasi pabrik dan menyajikan data tersebut dalam bentuk indeks yang dapat digunakan untuk menginformasikan pihak terkait mengenai praktik keberlanjutan pabrik. Metode ini melibatkan pengumpulan data tentang konsumsi dan emisi dari setiap unit operasi di pabrik kelapa sawit (Jamaludin et al., 2024).
POMFCA memberikan data yang jelas mengenai jejak karbon dari proses produksi kelapa sawit sehingga produsen dapat mengambil langkah-langkah strategis untuk mengurangi emisi dalam setiap proses. Selain itu, dengan mengadopsi pendekatan ini, perusahaan dapat lebih transparan dalam melaporkan dampak lingkungannya sehingga lebih mudah untuk dikontrol dan dipantau oleh pemerintah. Maka dari itu, BPDPKS sebagai lembaga yang mendukung pengembangan berkelanjutan kelapa sawit, dapat memainkan peran kunci dalam mendorong penerapan metose POMFCA dalam proses produksi kelapa sawit, baik dari hulu hingga ke hilir. Dengan mendukung penerapan teknologi ramah lingkungan dan sistem penghitungan emisi karbon yang akurat, BPDPKS dapat membantu mengurangi jejak karbon dari industri kelapa sawit Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H