Â
[caption caption="my diary"][/caption]
Dear Diary,
Ingin kusampaikan padanya sebaris puisi yang mungkin akan sulit ia pahami. Iya, dia bukanlah penggemar kata-kata berima, karena hobinya itu bersepeda. Masalahnya, aku hanya bisa menuliskan puisi atau menuliskan dongeng sederhana yang kunamai tokoh utamanya sama dengan nama panggilannya. Apakah layak jika aku mengkhayalkan diri bisa tertawa bersamanya, dan menjadikan diriku yang satu ini menjadi satu frasa baru, yang disebut ‘kita’?
Kalau aku mengkhayal, takutnya nanti terlalu sakit saat jatuh. Kenangan-kenangan di kala hujan turun, sontak mengarahkanku pada senyum lebarnya yang jarang dibagi, bahkan pada orang lain.
Menghilang. Itu yang kulakukan untuk sementara. Merekam dari balik bayang-bayang. Mencemaskannya sesekali jika ia sedang sakit. Mendoakannya agar selalu dilimpahi kebahagiaan.
Hei, diary.
Cermin itu sedikit buram. Siluetku tak bisa terlihat jelas, namun yang nampak malah semua wujudnya dalam berbagai bentuk dan rupa. Aku tidak sedang terkena penyakit gila, bukan?
Aku tidak ingat mulai kapan mencandu tiap detik berbincang bersama dengannya. Obrolan kami lebih banyak berkisar pekerjaan. Sesekali ketika akhirnya aku menyinggung tentang sakit flu yang sering kambuh, dia akan memilih sedikit lebih diam lalu menatapku dalam-dalam. Katakan padaku, diary apakah kekhawatiranku terlalu berlebihan?
Aku masih mengingat dengan baik saat ia berpamitan pulang dengan caranya yang unik. Aku selalu duduk tegang sewaktu duduk di sampingnya sementara ia berkonsentrasi memegang kemudi. Sst, setiap kelihaiannya memegang setir bundar itu, sebenarnya hatiku juga ikut berputar (halah, alayku kambuh).
Kalau ada dia, aku bahagia. Senyum ceria terus memancar seolah baru saja dicharge semalam suntuk. Hebat sekali dia ini. Siapa namanya? Kamu pasti penasaran kan, diary? Ssst, itu rahasia.