Latar Belakang
Tradisi adalah kebiasaan atau perilaku yang diteruskan dari generasi ke generasi dan tetap dijalankan dalam masyarakat. Tradisi ini tetap terjaga karena adanya komunikasi, baik secara lisan maupun tulisan, yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Salah satu tradisi yang masih hidup meski di tengah modernisasi adalah Kirab Pusaka Malam 1 Suro yang diadakan oleh Keraton Kasunanan Surakarta.Â
Kirab Pusaka Malam 1 Suro adalah ritual sakral yang digelar setiap tahun pada malam menjelang tanggal 1 Muharam dalam kalender Hijriah atau yang dikenal sebagai 1 Suro dalam penanggalan Jawa. Tradisi ini melibatkan prosesi arak-arakan pusaka keraton, seperti tombak dan gaman (senjata tradisional), yang dianggap memiliki nilai historis, spiritual, dan simbolis yang tinggi. Prosesi ini juga diiringi oleh doa dan ritual khusus, mencerminkan perpaduan antara kepercayaan Islam dan tradisi lokal Jawa.Â
Prosesi kirab ini dimulai dengan upacara di dalam keraton dan kemudian diarak mengelilingi kompleks keraton dan beberapa jalan utama di kota Solo. Masyarakat dari berbagai kalangan ikut serta dan menyaksikan kirab ini, menunjukkan adanya rasa kebersamaan dan kebanggaan terhadap warisan budaya mereka. Kirab Pusaka Malam 1 Suro menjadi simbol kekuatan tradisi yang mampu beradaptasi dengan modernitas tanpa kehilangan esensi aslinya.Â
Penelitian ini bertujuan untuk menggali lebih dalam tentang makna dan proses pelaksanaan Kirab Pusaka Malam 1 Suro. Dengan demikian, diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam upaya pelestarian budaya dan meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya tradisi ini. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengungkap upaya pelestarian tradisi di tengah tantangan modernisasi.
Pembahasan
Menurut masyarakat Jawa, istilah asyura dalam bahasa Arab memiliki arti kesepuluh, yang merujuk pada tanggal 10 bulan Sura yang menjadi awal perhitungan dalam kalender 5 Jawa. Sementara itu, masyarakat Islam menyebut bulan tersebut sebagai Muharram. Malam 1 Suro sering dikaitkan dengan suasana mistis dan kegiatan spiritual. Di lingkungan Keraton Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, bulan Suro dianggap sebagai bulan yang suci atau banyak keberkahan. Ini berarti bahwa selama bulan Suro, individu diharapkan untuk merenungkan diri, memanjatkan doa, dan menjalankan laku memohon ampunan dan petunjuk, yaitu mendekatkan diri kepada Tuhan YME. Bagi separuh masyarakat, mereka tidak diperbolehkan untuk bepergian selain untuk berdoa atau melaksanakan ibadah lainnya pada malam satu Sura (Aryanti & Zafi, 2020).Â
Masyarakat Jawa merayakan Satu Sura sebagai awal tahun baru mereka (Arfendita, 2010). Perayaan ini dilakukan melalui berbagai ritual, seperti puasa, semedi, kungkum, serta berjalan mengelilingi keraton dengan diam. Mereka juga berkumpul di kuburan dan tempat sakral, disertai dengan selamatan dan tidak tidur semalaman. Dalam pelaksanaannya, mereka berpegang pada sikap prihatin, memohon ampun, dan meminta petunjuk Tuhan agar selalu dalam keadaan selamat dan terhindar dari bencana.
Kegiatan kirab pusaka ini dilaksanakan dengan memakai peralatan yang memiliki makna atau pesan yang bisa dimengerti dan diinterpretasikan kepada masyarakat. Makna yang terkandung dalam peralatan tersebut berfungsi menjadi tanda atau simbol yang kaya akan pengertian, yang bisa digunakan untuk pelajaran dalam hidup manusia.Â
Upacara ini menyampaikan berbagai pesan yang mendalam. Ini membuktikan bahwa simbol atau tanda yang digunakan memiliki nilai yang signifikan. Kirab pusaka juga bermakna untuk mendorong manusia guna memperoleh keselamatan. Kirab memiliki makna filosofis yang mencerminkan keselarasan dan harmoni antara dunia dan manusia, sebagai upaya manusia untuk mencapai kehidupan yang tentram dan aman, berlandaskan sifat-sifat ilahi. Keseimbangan dan harmoni ini diciptakan melalui praktik kosmisreligius magis, khususnya dalam bentuk kirab pusaka, yang pada dasarnya melambangkan keselamatan dan ketenteraman (Wiseso, 2013).Â
Kirab Pusaka ini juga mencerminkan nilai gotong royong dan kebersamaan. Dalam pelaksanaannya, masyarakat Keraton, baik abdi dalem maupun warga sekitar, ikut berpartisipasi secara aktif. Keterlibatan bersama dalam menyukseskan kirab ini menunjukkan pentingnya rasa solidaritas dan kerjasama dalam menjaga kelangsungan tradisi budaya. Tiap orang merasakan kewajiban untuk memelihara serta melestarikan warisan-warisan yang mewakili kemuliaan Keraton. Warisan tersebut juga merupakan sebagian penting dalam identitas budayanya.Â