Kurikulum 2013, Kembalikan Desentralisasi Pendidikan!
Oleh: Refael Molina
Mahasiswa FKIP-BI UKAW Kupang
Judul tulisan ini terinspirasi atas hasil analisa penulis terhadap berbagai informasi mengenai Kurikulum 2013 yang diperoleh, baik melalui teman-teman Mahasiswa maupun Guru. “Kurikulum baru tidak memberikan ruang bagi guru untuk menilai kebutuhan siswa (students’ needs) secara langsung dan mengembangkannya dalam silabus maupun RPP (rencana pelaksanaan pembelajaran) dan (hampir) semua wacana atau paragraf dalam buku teks hanya seputar kota-kota besar di pulau Jawa, ini mengikis budaya lokal kita” demikian kutipan yang dapat di ambil ketika berbincang dengan salah seorang Guru belum lama ini. Hasil analisa saya kemudian menghasilkan salah satu kesimpulan bahwa Kurikulum baru sangat bertolak belakang dengan upaya pemerintah dalam bidang pendidikan mengenai Desentralisasi pendidikan.
Terminologi desentralisasi pendidikan sederhananya dapat di pahami sebagai pemberian wewenang dari pusat ke daerah atau dalam lingkup terkecil dari satuan pendidikan untuk mengimplementasikan dan mengembangkan kurikulum sesuai dengan karakteristik dan potensi dari satuan pendidikan. Sebagaimana penjelasan yang tertuang dalam Pasal 38 Ayat 2 Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas menyebutkan bahwa, “Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan Propinsi untuk pendidikan menengah”.
Ini mengindikasikan bahwa peran Daerah dalam setiap satuan pendidikan sangat di butuhkan untuk melakukan pengembangan kurikulum. Namun apabila di tilik secara mendalam, maka dalam Kurikulum 2013 Pemerintah mengambil alih tugas dan tanggung jawab sekolah mengembangkan kurikulum dengan membuatkan di antaranya SK (standar kompetensi), KD (kompetensi dasar), Indikator, dan Silabus, berarti ‘Pemerintah melanggar undang-undang’. Ironis!
Kurikulum 2013 laksana gula-gula (?)
Sejalan dengan hal tersebut, salah satu kelompok Guru yang di sebut TEFLIN (the Association of Teaching English as a Foreign Language in Indonesia), sebagai organisasi profesi guru bahasa Inggris dalam buku tentang POKOK PIKIRAN DAN REKOMENDASI TENTANG KURIKULUM MATA PELAJARAN BAHASA INGGRIS TAHUN 2013, tak tanggung-tanggung mengkritisi bahwa Kurikulum 2013 laksana gula-gula yang ditawarkan pada anak oleh orang tua. Rasanya manis dan membuat anak senang, tetapi sebenarnya berbahaya karena merusak gigi anak. Kurikulum 2013 yang mengurangi beban guru karena tidak lagi harus menyusun silabus dan menyiapkan bahan ajar juga membuat guru tepuk tangan senang.
Meskipun banyak pihak bahkan guru mengklaim akan lebih fokus dalam mengajar namun, cepat atau lambat berkurangnya beban itu akan ‘mengikis kreativitas’ dan kompetensi guru dalam menganalisis kompetensi yang akan dicapai, materi yang dibutuhkan, kegiatan pembelajaran yang akan dilaksanakan serta penilaiannya yang cocok. Guru yang tidak memiliki keterampilan tersebut akan menjadi tidak berdaya ketika dihadapkan pada pengambilan keputusan di tengah ketidakpastian di kelas. Di sisi lain, Kurikulum 2013 merupakan sebuah ironi di tengah trend pendidikan dunia yang makin menuntut pemberdayaan, ketidakbergantungan pada metodologi (post method era) dan desentralisasi karena menempatkan guru hanya sebagai aktor pelaksana apa yang disuapkan pemerintah pusat
Dengan kata lain, silabus dan buku babon yang disiapkan pemerintah pusat mengancam dan upaya menghilangkan teacher empowerment (pemberdayaan guru-red). Dalam kaitan ini, TEFLIN memperkuat keyakinan dan keinginan bahwa:Pertama, Guru-guru yang kreatif dan cerdas sebaiknya diberi ruang yang seluas-luasnya melalui berbagai media untuk mengembangkan silabus, bahan ajar, dan RPP (rencana pelaksanaan pembelajaran). Sekolah yang tetap ingin menerapkan pengembangan kurikulum berbasis sekolah atau sering disebut KTSP juga harus diberi kesempatan dan didorong tidak hanya dari sisi peraturan dan kelembagaan, tetapi juga pembiayaannya. Kedua, Sentralisasi silabus dan bahan ajar yang dibuat di Jakarta dapat menyebabkan potensi lokal tidak terwadahi. Anak bangsa dari kawasan timur Indonesia, akan tercerabut dari akar budaya lokalnya karena dicekoki informasi seputar Jakarta atau kota-kota besar lainnya. Pada akhirnya, kondisi itu dapat mengancam keragaman dan kohesivitas bangsa secara keseluruhan.
Alasan Desentralisasi Pendidikan
Desentralisasi pendidikan sangat di perlukan dalam kurikulum 2013, mengingat peran guru untuk menganalisis kebutuhan siswa danmengejahwantahkan kebutuhan siswa secara langsung dalam setiap satuan pendidikan dan mengakomodir hadirnya budaya lokal melalui pengembangan isi silabus danbahan ajar yang hendak di gunakan dalam pengajaran di kelas. Sejalan dengan hal tersebut Yalden (1984:14) mengungkapkan dalam dalam buku tentang ‘Syllabus design’ oleh Nunan (1988:5) menegaskan pentingnya syllabus dalam pengajaran di kelas dalam menjawab kebutuhan siswa , “The syllabus is now seen as an instrument by which the teacher, with the help of the syllabus designer, can achieve a degree of 'fit' between the needs and aims of the learner (as social being and as individual) and the activities which will take place in the classroom." “Silabus sekarang ini dianggap sebagai instrumen yang digunakan guru, dengan bantuan perancang silabus, dapat mencapai tingkat ‘kecocokan' antara kebutuhan dan tujuan dari peserta didik (sebagai makhluk sosial dan sebagai individu) dan kegiatan-kegiatan yang akan berlangsung di dalam kelas”.
Lebih tegas Brumfit dalam Nunan pun (1989) mengatakan bahwa, “teachers of english at secondary school have to modify the syllabus for their own term into action before doing the teaching learning process”, Kedua pernyataan expert (ahli) di atas, hemat penulis bermaksud ingin memberikan kesempatan kepada guru untuk menyusun silabus secara mandiri sehingga mereka akan dengan mudah menyesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik siswa dan mengejahwantahkan dalam SK, KD dan RPP serta mengaplikasikannya dalam proses belajar mengajar di setiap satuan pendidikan.
Oleh karena itu, Pemerintah dalam hal ini Kemendikbud harus segera mengkaji secara komprehensif implementasi Kurikulum 2013 dari berbagai aspek, baik aspek akademis (ilmu), sosiologis (antar kemanusiaan-budaya), topografi (kewilayah-an) maupun yuridis (aturan), sehingga kita semua tidak menghabiskan energi untuk hal yang tidak perlu sebab bisa saja suatu saat Kurikulum 2013 dapat digugat di pengadilan dan pemerintah kalah sehingga Kurikulum 2013 dibatalkan seperti halnya RSBI (Rintisan sekolah berstandar internasional).
Memang kita butuh perubahan, namun kita tidak selamanya harus mengikuti secara lurus perubahan yang terjadi, karena bisa saja perubahan juga bisa bersifat buruk dan merugikan kita semua. Sebagai kaum terdidik, pemerhati pendidikan serta semua stakeholders pendidikan patut mengkritisi dan memberikan masukan atas perubahan Kurikulum 2013 sebelum Kurikulum 2013 benar-benar di terapkan di semua sekolah di seluruh pelosok Tanah Air khususnya di NTT. Karena kita tentunya tidak ingin ‘jatuh’ lantas terjerumus kedalam arus perubahan destruktif dalam bidang pendidikan yang sangat deras ketimbang perubahan menuju kearah yang lebih baik. Kembalikan desentralisasi pendidikan! ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H