Pembenahan
Fenomena korupsi menjadi hal yang tidak dapat dihindari dan terbantahkan bila kita berbicara tentang perilaku para wakil rakyat kita. Korupsi jugalah yang telah membuat citra wakil rayat kita tercoreng dan menambah panjang potret buram wakil rakyat kita. Sebenarnya untuk membenahi dan mengembalikan citra DPR yang kian terpuruk (potret buram wakil rakyat), setidaknya ada dua faktor maha penting yang hendak dikemukakan disini, yakni:
Pertama: Badan kehormatan DPR yang bertugas mengawal dan memeriksa perilaku anggota DPR selama ini belum menjalankan tugas dan tanggung jawabnya berdasarkan regulasi yang ada, oleh karena itu badan kehormatan DPR sejatinya memainkan peran dan tanggung jawabnya secara baik untuk meminimalisir fenomena korupsi dalam diri anggota DPR sehigga dapat memulihkan citra DPR yang kian terpuruk, hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh peneliti LSI Ruly Akbar saat memaparkan hasil survey tersebut bahwa, “selama ini Badan Kehormatan DPR terkesan belum melakukannya secara sungguh-sungguh bahkan terkesan membela pelaku”. Untuk itu maka Badan Kehormatan sejatinya perlu bekerja secara sungguh-sungguh demi memerangi perilaku korupsi.
Kedua: Hukuman (punishment) yang diberikan kepada pelaku korupsi. Di Indonesia yang katanya Negara hukum, ternyata hukum dapat dipermainkan, hukum bisa saja dijual belikan. Tengok saja, seorang anak kecil yang telapak kakinya kepanasan saat menjual koran terpaksa harus mencuri sandal di pintu masuk mesjid.
Ia pun harus diproses secara tuntas dan akhirnya dihukum sesuai perbuatannya, namun hal ini berbeda dengan para pelaku korupsi yang menghilangkan uang Negara yang bernilai miliyaran atau triliun rupiah, dengan kemampuan (financial) yang dimilikinya akhirnya meminta jasa kepada pengacara. Pengacara (lawyer) pun siap membela, mengurangi hukuman bahkan meniadakan hukuman. Secara terang benderang hukumpun tumpul keatas tapi tajam kebawah di Negara hukum ini. Ironis.
Berbeda dengan hukuman bagi para koruptor di negeri tirai bambu, para koruptor dihukum mati tanpa ampun karena dengan asumsi bahwa lebih baik hanya seorang (koruptor) yang mati dari pada karena ulahnya (korupsi) semua warga Negara bisa mati.
Hemat penulis para petinggi Negara yang ‘mengemudi’ Negara hukum ini seyogyanya berani menerapakan punishment (hukuman) seperti yang diterapkan oleh pemerintah Negara Komunis itu. Karena bila tidak, maka perilaku korupsi akan terus merajalela di Bumi Pertiwi ini dan citra buruk para wakil rakyat kita kian hari akan semakin buruk. Semoga! ***