Mohon tunggu...
Refael Fernando
Refael Fernando Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Unpad, Ketua Society (Social Politic Music Commnity) atau Komunitas musik Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Unpad. Selain dari kegiatan kuliah dan bermusik, saya juga suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Elegi dan Tawa…

3 Juli 2013   18:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:03 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Akhirnya semua selesai, tapi ini garis finish yang sebenarnya semu. Aku harus kembali mendaki, ini hanya tempatku beristirahat untuk sedikit menghela nafas, karena aku baru saja ada ditengah-tengah pendakian.

Riza. Ya itu namaku. Sekarang aku sedang berada disebuah lorong dimana semua orang menunggu kehadiran “selesai”. Aku tidak sendiri menantinya, teman-teman juga ada di lorong yang sama seperti aku, bedanya semakin sedikit yang berada di lorong ini. Sebagian dari kita sudah tidak lagi menunggu kehadiran “selesai”.

Terkadang aku tertawa mengingat mengapa aku tetap berada di lorong ini, terkadang juga air mata ini tak kuasa tertahan agar tidak jatuh, terkadang juga amarah yang hanya ada di lorong ini. Mungkin mengapa aku tetap berada di lorong ini adalah karena aku terlalu menikmati dan enggan meninggalkan kenyamanan, hingga disaat para sahabat sudah menanti kehadiran “selesai” dan aku baru tersentak sadar dan segera bersiap. Ternyata bersiap itu tidak semudah yang aku pikirkan, ketika bersiap aku harus menyiapkan segala sesuatunya hingga kehadirannya tiba. Aku harus merelakan beberapa sahabat pergi meninggalkan lorong ini terlebih dahulu.

“Semangat dan terus semangat, kita tidak berpisah, kita hanya mengurangi intensitasnya”

Pikiranku melayang kemasa-masa lalu dimana gelak tawa dengan sahabat, bermain, menikmati pemandangan alam, bermain irama dan nada, semuanya dilakukan bersama dengan sahabat-sahabat yang sudah tidak ada di lorong ini. Kenangan itu terkadang menjadi penyemangat dan terkadang aku tenggelam di dalam kenangan itu. Indah mengingat kebersamaan dengan mereka.

Aku beranjak untuk mengumpulkan apapun yang harus aku bawa nanti. Aku merapihkan apa yang sudah tercecer hingga sulit untuk mengumpulkannya. Satu demi satu aku rapihkan dengan perjuangan dan juga waktu. Tetapi sekali lagi, tidak semudah yang aku bayangkan. Disaat aku merapihkan satu sisi, sisi lainnya akhirnya retak ataupun pecah.

Aku pandangi dan ratapi pecahan pertama, kedua, ketiga, keempat, dan pecahan kelima. Pecahan-pecahan itu hancur tidak berbentuk. Sisa satu sisi yang masih berbentuk namun retakan-retakan menghiasi sisi ini. Aku tidak mungkin membiarkan sisi yang terakhir ini pecah seperti yang lainnya, namun tenaga yang tersisa sangat sedikit untuk menyelimuti jiwaku.

Satu dua orang pergi, satu dua sisi retak atau bahkan pecah, aku belum juga selesai merapihkan persiapanku. Hingga habis sudah tenaga untuk berfikir, Peri kecil penolong datang memberi kesegaran, memberi tawa, dan memberi apa yang aku butuhkan, hingga akhirnya Peri kecil itu pun pergi untuk melanjutkan perjalanannya.

Masih disini meratapi persiapan yang hampir terselesaikan, hingga… Retakan itu semakin parah. Tiada lagi tenaga untuk berfikir, tiada lagi tenaga untuk bergerak. Aku sendiri. Kali ini aku benar-benar sendiri di lorong ini, tidak ada siapapun. Ketiadaan tenaga menyulitkanku untuk berfikir dan bergerak, sementara keretakan semakin parah dan semakin parah.

Pertanyaan-pertanyaan menggelayuti pikiranku atas kepergian sang Peri. Aku tau betul bahwa semua akan pergi, tapi kenapa harus sekarang disaat aku benar-benar memerlukan bantuan. Amarah menggelayuti dikala sang Peri tak lagi memberi bantuannya, dikala sang Peri menjadi penyemangat. Sang Peri pergi melanjutkan tugasnya.

Terkadang menyerah selalu datang menghampiriku dan siap untuk mengajakku keluar dari lorong ini. Dia selalu setia menemani hari-hari ku dalam ketiadaan tenaga, hanya dia yang tetap ada di lorong ini, disaat semuanya pergi. Dia menawarkan bantuan, terus menawarkan kebaikannya dan banyak sekali jalan keluar yang dia persiapkan untukku.

Pandangan mata saya masih kepada retakan-retakan yang mungkin masih bisa saya pertahankan agar tidak pecah seperti yang lainnya, meratapi keretakan itu dan terus berusaha untuk mengumpulkan tenaga untuk berfikir dan tetap bergerak, sementara kesedihan dan ketakutan bukanlah hal yang aneh bagi ku saat ini. Hal tersebut membuat aku semakin lemah dan sangat lemah.

Lorong ini menjadi semakin gelap dan sepi, teriakanku tidak akan lagi terdengar. Semuanya gelap, hanya retakan dan persiapanku yang masih bisa terlihat, walaupun sedikit sekali cahaya dikeduanya. Aku memandangi keduanya, tinggal sedikit lagi persiapanku untuk menyusul sahabat-sahabat, namun keretakan itu, bisakah sisi itu menunggu hingga aku selesai bersiap, atau sisi itu akan pecah sebelum semuanya siap.

Lelah… akhirnya aku merasa lelah untuk bersiap. Tenaga ini semakin menipis hingga tidak ada lagi daya untuk melawan rasa ini. Aku merelakan semua perjuangan, biarkan aku tetap berada di lorong ini, karena aku sudah sangat lelah untuk bersiap dan tiada tenaga lagi…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun