Oleh: Reeva Thalib (No. 387)
Di sebuah hutan rimba, berkumpullah semua jenis hewan primata. Ada Orang utan, monyet, simpanse, si mungil tarsius dan yang paling indah adalah bekantan. Ia mempunyai bulu yang lembut berwarna kemerahan dan mempunyai hidung sangat mancung. Walau begitu, bekantan selalu menyombongkan kelebihannya, ia selalu meremehkan hewan-hewan yang lain yang berada di sekitarnya. Setiap hari ia melenggang dengan angkuhnya di hadapan yang lain memamerkan apa yang ia miliki.
“Hey kamu, kemari, aku mau bicara!”, gumam Bekantan mencengkeram ekor Tarsius yang tengah memanjat pohon.
“Auww..sakit..sakit...ibu..ibu..Bekantan nakal bu..”, teriak Tarsius memanggil-manggil ibunya.
Mendengar jeritan itu, induk Tarsius berlari menghampirinya.
“Lepaskan..lepaskan anakku Bekantan, atau akan ku laporkan kau pada Orang utan!”, seru induk Tarsius pada Bekantan yang tak jua melepaskan anaknya. Ia tak berdaya melepaskan anaknya dari cengkeraman bekantan karena bekantan terlalu kuat sedangkan tubuhnya begitu kecil.
“Ha ha ha..bodoh, sekarang apa kau mau mengakui bahwa aku terhebat, aku terindah yang ada di hutan ini? Kalau kau tak mau bersujud padaku, aku tak akan melepaskannya, karena aku adalah raja, raja yang lebih hebat dari orang utan!”, ujar Bekantan.
“Tidak, aku tak mau bersujud padamu, dua hal yang aku takuti dalam hidup ini adalah Tuhan dan orang tuaku, aku tak takut padamu!”, jawab induk Tarsius.
“Oh ya? Kalau begitu sekarang akan ku lempar anakmu ini ke hutan sebelah..satu...dua..ti...”, gumam bekantan bersiap melempar anak Tarsius.
“Cukup! Hentikan.. jangan siksa anakku, baiklah, aku akan bersujud padamu..”, rintih Tarsius seraya membungkukkan badannya dan bersujud pada Bekantan, walau hatinya tak mengakui itu. Ia melakukan itu hanya untuk menyelamatkan anaknya.
Bekantan akhirnya menyerahkan anaknya dengan kasar.
“Ini anakmu, didik dia menjadi tangguh sepertiku, hahaha..bodoh!”, seru Bekantan melenggang pergi dan menyusuri hutan selanjutnya.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, suatu ketika orang utan selaku raja di hutan rimba tengah melihat-lihat bagaimana keadaan penduduknya. Ia sedih tatkala mendengar berita bahwa bekantan senang membuat ulah. Membuatkerusakan di rumah-rumah simpanse, mengganggu tarsius yang tengah belajar memanjat, dan banyak berita lain yang sangat memilukan hatinya. Setibanya di tengah hutan, ia bertemu dengan Simpanse dan Monyet.
“Apa kabarmu, apa kau baik-baik saja?”, tanya orang utan.
“Beginilah keadaanku, kau tak perlu khawatir orang utan, hahaha..”, jawab simpanse terkekeh.
“Hm, kau terlambat Orang Utan, ia telah merusak rumahku, aku sekarang menumpang di rumah Simpanse”, seru Monyet terisak-isak
“Benarkah itu? Aku turut prihatin kawan..”, ujar Orang utan mencoba bersimpati.
“Tak hanya itu, ia melempariku dengan buah kelapa, kau harus bertindak Orang utan?”, jawab Monyet semakin terisak.
“Sepertinya ini tak bisa di biarkan, kita harus memberinya pelajaran agar ia jera”, gumam Simpanse.
Mereka berunding memikirkan cara untuk membuat Bekantan jera. Keesokan harinya,
Mereka semua memboyong seluruh keluarganya untuk pindah ke hutan lain di negeri seberang. Bekantan sombong itu akhirnya tinggal sebatang kara. Ia heran mengapa hutan yang dulunya ramai kini begitu sepi. Tak satupun ada yang tersisa. Ia menjadi sedih dan kesepian.
“Kemana mereka semua, kenapa kini hanya tinggal aku seorang diri”,gumamnya yang mulai menangis.
Mendengar tangisan Bekantan, tiba-tiba si Tikus tanah muncul dari dalam lubang.
“Hey, kamu kenapa menangis?”, tanya Tikus tanah.
“A..aku tak mengerti, mengapa kini hutan ini begitu sepi, dulu teman-temanku ada di sini, Orang utan, Simpanse, Tarsius, Monyet, kemana mereka?”,jawabnya lirih.
“Hohoho...aku tau..aku tau..aku tau kemana mereka..”, seru Tikus tanah tertawa nyaring.
“Apa?Kau tau kemana mereka?”, Tanya Bekantan mencengkeram lehernya.
“Auww, sakiit, bisakah kau tidak kasar!”, jawab Tikus tanah.
“Baik, sekarang katakan dimana mereka..”, gumam Bekantan lirih.
“Kemarin malam, aku melihat mereka semua pergi ke arah selatan, sepertinya mereka sudah berpindah dan mencari tempat tinggal baru”, seru Tikus tanah.
“Mengapa mereka meninggalkan aku?”, tutur Bekantan mulai terisak lagi.
“Aku juga tak tau, apa kau berbuat salah pada mereka?”, tanya Tikus tanah mencoba menenangkan.
“Ti..tidak, aku merasa tak berbuat salah pada mereka, Tikus..apa kesalahanku?”, ujar Bekantan.
“Hm..tidak mungkin mereka begitu kalau kau tak berbuat salah, ingat-ingat lagi, apakah kau pernah menyakiti mereka?”, tanya Tikus tanah.
Bekantan termenung mengingat-ingat apa yang telah ia lakukan. Ia baru menyadari bahwa ia telah menyakiti hati sahabat-sahabatnya. Ia sangat menyesal dengan apa yang ia lakukan.
“Aku baru ingat, aku kerap mengganggu anak-anak mereka, melempari kepala monyet dengan kelapa, dan merusak rumah simpanse, banyak lagi yang telah aku perbuat,aku sangat menyesal Tikus, aku ini begitu jahat..jahat..”, tutur Bekantan mulai membentur-benturkan kepalanya.
“Hey..cukup..cukup..apa yang telah kau lakukan!”, gumam Tikus tanah mencoba mencegah perbuatannya.
“Lebih baik aku mati daripada aku hidup sendiri seperti ini!”, seru Bekantan mengguling-gulingkan tubuhnya di tanah.
“Jangan begitu kawan, kan masih ada aku..”, ujar Tikus tanah berusaha meredakan tangisannya.
Bekantan semakin menangis mendengar ucapan tikus tanah.
“Mengapa..mengapa kau baik padaku, padahal kau baru mengenalku hari ini, mengapa, padahal tadi aku sempat menyakitimu?”, tanya Bekantan.
“Hm..sebenarnya kau baik, tapi kau lupa diri, kelebihanmu membuatmu sombong, sabarlah, anggap ini pengalaman berharga, jadikan ini pelajaran untukmu Bekantan, mau kah kau menjadi sahabatku?”, seru Tikus tanah menjabat tangan Bekantan.
“Oh Tikus...aku sangat terharu..aku sangat bahagia..terima kasih, terima kasih karena kau masih sudi menjadi sahabatku”, gumam Bekantan seraya mencium si mungil Tikus tanah.
Ternyata dari kejauhan, di balik pohon kelapa, diam-diam Orang utan telah lama menyaksikan Bekantan mencurahkan kesedihannya pada Tikus tanah.
“Hm..akhirnya ia sadar juga, terima kasih Tikus tanah, kau memang sahabatku yang baik”, gumam Orang utan lirih seraya meninggalkan hutan.
Beberapa bulan setelah itu, Orang utan, Simpanse, Tarsius dan seluruh keluarga primata lainnya berbondong-bondong kembali ke hutan itu. Bekantan yang tengah bermain bersama Tikus tanah sangat terkejut akan kedatangan mereka. Bekantan berlutut dan meminta maaf pada mereka semua atas segala kesalahannya.
“Maafkan aku..aku sangat jahat selama ini pada kalian, maafkan aku..”, gumam Bekantan mulai terisak-isak.
“Bangun..bangunlah nak, kami semua sudah memaafkanmu, kami hanya memberimu sedikit pelajaran agar kau menyadari kesalahanmu”, ujar Orang utan.
Akhirnya mereka semua berpelukan. Bercampur dalam haru dan sukacita. Sejak saat itu Bekantan tak lagi congkak. Ia menjadi Bekantan yang rendah hati dan disayangi teman-temannya.
NB: Untuk membaca karya peserta lain silakan menuju akunFiksiana Community
Silakan bergabung di groupFB Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H