Samudera Yang Memiliki Berjuta Manfaat.
Penggunaan listrik di Indonesia saat ini masih sangat bergantung dengan pembangkit batu bara yang dampaknya berakibat pada pencemaran lingkungan, berbagai upaya dari pemerintah untuk mengurangi dan mengganti jumlah ketergantungan dari batu bara dengan energi baru salah satunya adalah Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang di masukan dalam program pengurangan emisi karbon yang dijelaskan lebih rinci dalam Nationally Determined Commitment (NDC).
Seluruh pantai di Indonesia dapat menghasilkan lebih dari 2~3 Terra Watt Ekuivalensi listrik, diasumsikan 1% dari panjang pantai Indonesia (~ 800 km) dapat memasok minimal ~16 Watt atau sama dengan pasokan seluruh listrik di Indonesia Tahun 2005. Energi samudra ada empat macam, yaitu energi panas laut, energi pasang surut, energi gelombang, energi arus laut. Hal ini memungkinkan karena bahan baku utama sebagai sumber energi sel bahan bakar adalah gas hidrogen. Gas hidrogen dapat langsung digunakan dalam pembangkit energi listrik dan mempunyai kerapatan energi yang tinggi. Beberapa alternatif bahan baku seperti air laut, air tawar, dan unsur-unsur yang mengandung hidrogen dapat pula digunakan namun diperlukan sistem pemurnian sehingga menambah jumlah system cost pembangkitnya.
Seperti yang telah kita ketahui bahwa Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki kondisi topografi bergunung, berbukit, dan dialiri oleh banyak sungai bahkan danau/waduk yang tentu saja memiliki potensi besar dalam pengembangan pembangkit listrik energi air atau mikrohidro.Â
Potensi dan Upaya Penggunaan Energi Mikrohidro
Pemanfaatan sumber energi terbarukan ini disebut Pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang sudah terbukti tidak merusak lingkungan karena sebagai besarnya memakai kandungan lokal Besar potensi energi air di Indonesia adalah 74.976 MW, sebanyak 70.776 MW ada di luar Jawa, yang sudah dimanfaatkan adalah sebesar 3.105,76 MW sebagian besar berada di Pulau Jawa. Pembangunan setiap jenis pembangkit listrik didasarkan pada kelayakan teknis dan ekonomis dari pusat listrik serta hasil studi analisis mengenai dampak lingkungan. Sebagai pertimbangan tersedianya sumber energi tertentu, adanya kebutuhan (permintaan) energi listrik, biaya pembangkitan rendah, serta karakteristik spesifik dari setiap jenis pembangkit untuk mendukung beban dasar (base load) atau beban puncak.
Selain PLTA, energi mikrohidro (PLTMH) yang mempunyai kapasitas 200-5.000kW potensinya adalah 458,75 MW. Hal tersebut, sangat layak dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik di daerah pedesaan di pedalaman yang terpencil maupun pedesaan di pulau-pulau kecil dengan daerah aliran sungai yang sempit. Biaya investasi untuk pengembangan pembangkit listrik mikrohidro relatif lebih murah dibandingkan dengan biaya investasi PLTA. Hal ini disebabkan adanya penyederhanaan standar konstruksi yang disesuaikan dengan kondisi pedesaan. Biaya investasi PLTMH adalah lebih kurang 2.000 dollar/kW sedangkan biaya energi dengan kapasitas pembangkit 20kW adalah Rp 194/kWh.Â
Salah satu, daerah yang telah melakukan transisi energi di Desa Cinta Mekar, Subang, Jawa Barat yang membangun pembangkit listrik mikrohidro yang pembuatannya melibatkan secara penuh masyarakat setempat, subsidi masyarakat, dan kepemilikan setengah dari hasilnya, Â subsidi dari kelebihan hasil pengolahan dijual ke PLN, kemudian hasilnya diberikan kepada masyarakat lagi berupa biaya sekolah anak di sana, subsidi kesehatan, dan modal usaha masyarakat yang dikelola melalui sistem koperasi. Di luar hal itu, masyarakat juga tercatat sebagai pemilik dari PLTMH sebanyak 50 persen dan 50 persennya dimiliki oleh swasta atau investor. Pengelolaan di atas merupakan contoh praktik pengelolaan energi yang terdesentralisasi yang memanfaatkan energi hijau. Masyarakat setempat dapat merasakan sendiri energi listrik yang berasal dari daerah mereka serta berkesempatan untuk mengembangkan ekonomi mereka. Konsep demokrasi energi ini merupakan transisi energi yang berkeadilan dengan prinsip akses energi yang berkelanjutan, terjangkau, dan andal.