Mohon tunggu...
Redo Rizaldi
Redo Rizaldi Mohon Tunggu... -

Guru

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cu: Bagian ke Satu

7 Agustus 2014   18:16 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:10 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selembar kertas foto hitam putih seukuran kartu pos ku temukan di antara tumpukan-tumpukan kertas, berkas dan map-map berdebu, usang dan tak terpakai lagi berserakan di gudang belakang rumah. Selembar foto hitam putih itu masih nampak terlihat dalam kondisi yang baik, beberapa bercak jamur karena lembab di bagian tepi foto, namun secara keseluruhan gambar wajah-wajah yang ada di dalamnya masih tampak jelas walau sedikit pudar.

Wajah-wajah pemuda melayu yang sepertinya di tahun 70-an, berumur rata-rata baru belasan tahun, baru mengenal diri. Tujuh belas pemuda memakai kemeja putih berbahan paling populer pada masa itu, berjejer tiga baris, dua barisan di belakang berdiri, sedangkan barisan yang di depan posisi duduk. Salah satu yang di posisi duduk, di pojok kanan, adalah sosok yang yang ku kenal. Jauh sekali lebih muda dari yang sekarang. Alis tebalnya, matanya yang sayu layu, hidung bangir serta kumis tipisnya begitu diri ku.

Sosok pemuda itu begitu parlente, tidak seperti yang lainnya, lengan kemejanya digelung rapi hingga ke siku,berbadan tegap, tidak gemuk tidak juga terlalu kurus.

Begitu berbeda dengan beliau yang sekarang ku kenal.

Mengurung diri di dalam kamar sudah selama kurang lebih dua tahun terakhir ini, hidup hanya di antara kasur dan sebuah kursi menghadap televisi ‘29 inci.

Tatapannya yang di gambar itu nampak begitu penuh dengan semangat hidup, kini redup. Mata sayu layunya sering kali terlihat kelu dan membisu, tak lagi banyak berharap, hanya menjalani sisa hidup dengan menyeret sebagian tubuh sebelah kirinya yang lumpuh.

2 kali jatuh karena penyakit stroke.

Aku bawa keluar selembar foto tersebut dari gudang, ingin ku tunjukkan kepadanya, masih ingatkah dia? Aku ingin melihat wajahnya tersenyum bahagia di antara penderitannya dan ketidak mampuan ku membuang semua penderitannya itu.

Dan senyumnya pun bergulir.

“Darimana abang dapat foto ini?”

Beliau bertanya begitu ku sodorkan selembar foto itu di hadapannya.

“Di gudang belakang, masih ingat kah ‘pah?” Tanya ku tergelitik untuk mencari tahu lebih.

“Masih lah” Jawabnya.

“Ini jaman kapan ‘pah? Foto dimana ini?”

“Ngg....’es ‘em ‘pe...di Moderen” Jawabnya samar-samar terdengar, bibir dan lidahnya sudah lama tidak berfungsi dengan baik, tapi bagi yang terbiasa akan mengerti.

“SMP? Kumis sudah selebat itu?”

Ia terkekeh-kekeh mendengarnya.

“Siapa saja yang ada di foto ini”

“Ini ada bang ‘Anis, Suandi, Ayel.....” Wajah-wajah lain tidak mampu lagi diingatnya seberapa keras pun ia mengerenyitkan dahi dan menggigit bibir. Usia dan penyakit sudah lama menaklukan memorinya.

Lama ia menatap foto dirinya sendiri pada waktu itu bertanya-tanya mungkin, bagimana sesosok pemuda yang menatap dengan penuh semangat muda, seolah dunia ini dalam genggamannya.

Berakhir mengurung diri di sebuah kamar lima kali lima.

Sebuah roda kehidupan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun