2014 mungkin merupakan tahun perubahan arah kehidupan bangsa yang betul-betul membelah bangsa ini menjadi dua kelompok (kalau tak ingin disebut kubu). Pembelahan tersebut tampak ketika KPU mengumumkan dua pasang Capres dan Cawapres yang akan berkontestasi di dalam Pilpres 2014. Di mana kelompok pertama adalah kelompok pendukung Capres Prabowo Subianto dan Cawapres Hatta Radjasa. Kelompok ini populer disebut Koalisi Merah Putih (KMP). Kelompok Kedua adalah kelompok pendukung Capres Joko Widodo atau Jokowi dan Cawapres Jusuf Kalla. Kelompok ini menamakan diri sebagai Koalisi Indonesia Hebat (KIH).
Pada akhir kontestasi tersebut, ternyata Koalisi Indonesia Hebatlah yang keluar sebagai pemenang. Walaupun dengan berbagai cara untuk membatalkan kemenangan tersebut sudah dilakukan oleh Koalisi Merah Putih, namun takdir tak dapat dielak, pemenang Pilpres tetaplah Jokowi-JK dari Koalisi Indonesia Hebat.
Tentu tak habis cara bagi KMP dkk untuk berkuasa atau minimal “menganggu” pemerintahan Jokowi-JK. Merasa tak dapat menguasai eksekutif, kekuatan massa di parlemen dimaksimalkan oleh KMP. Berbagai manuver dan pertunjukkan kuasa KMP telah dilakukan dan dimenangkan dengan telak. Ibarat pertandingan sepak bola, KMP tak segan menghabisi KIH tanpa memberikan kesempatan untuk minimal mencetak satu gol. KMP menyapu bersih kemenangan dengan kedudukan yang telak. Kemenangan KMP dimulai dari pengesahan UU MD3, RUU Pilkada, hingga pemilihan pimpinan DPR yang tak memberi satu kursi pun kepada KIH. Secara angka KMP telah menang 3-0 atas KIH.
Tak cukup sampai di situ, keinginan KMP untuk menguasai parlemen bakal diwujudkan dengan mencalonkan kader-kader KMP sebagai pimpinan MPR sebanyak empat orang dan satu pimpinan lagi berasal dari DPD. Menjadi pimpinan MPR dan menguasai MPR tidak kalah strategis dengan menguasai DPR. Walaupun MPR bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara, namun MPR mempunyai kewenangan untuk mengamandemen UUD 1945. Dengan kata lain, menguasai MPR tentunya akan mampu mempermainkan dinamika politik dengan cara-cara legal dan demokratis. Salah satu spekulasi yang muncul dengan dikuasainya MPR oleh KMP adalah melakukan amandemen kelima UUD 1945, dengan fokus utamanya menghapus pemilihan Presiden oleh Rakyat, dan mengembalikan pemilihan Presiden kepada MPR.
Komunikasi Politik yang Beku dari PDIP
Sebagai partai pemenang Pemilu Legislatif, PDIP seharusnya bersikap layaknya seorang pemenang dan menjadi pengatur dinamika politik saat ini. Namun hal sebaliknya terjadi. Solidnya KMP dengan jumlah massa yang menguasai parlemen membuat PDIP beserta partai koalisi (PKB, Hanura, Nasdem) tak dapat berbuat banyak di parlemen. Mekanisme pengambilan keputusan di parlemen selalu diarahkan ke voting yang secara jelas menguntungkan kubu KMP. Bisa dilihat, PDIP sebagai partai pemenang tapi nampak selalu dipercundangi oleh KMP. Puncaknya pada pemilihan pimpinan DPR, di mana dengan tidak menguasai forum persidangan paripurna DPR, kader-kader PDIP naik ke atas meja pimpinan sidang dan menuai dampak negatif bagi citra PDIP. Masyarakat bukannya bersimpati namun malah mencemooh PDIP sebagai partai yang bersikap kekanak-kanakan. Kritik masyarakat semakin menajam ketika PDIP beserta partai koalisinya memutuskan untuk walkout. Tak pelak ini menjadi perbincangan hangat di media sosial sama halnya ketika Fraksi Partai Demokrat walkout ketika sidang paripurna pengesahan RUU Pilkada menjadi UU Pilkada.
Banyak pihak menilai ketidakberdayaan dan ketidakmampuan PDIP untuk menarik partai KMP untuk masuk ke barisannya disebabkan oleh arogansi pimpinan PDIP. Merasa besar dan bangga sebagai partai pemenang pemilu legislatif dan partai utama pengusung Presiden terpilih, PDIP enggan membuka komunikasi politik kepada partai lain di luar KIH. Padahal di dalam dunia politik, sebenarnya tidak ada yang betul-betul kaku dan ideologis, semua didasari pada kepentingan dan kebuntuan dukungan bisa hilang melalui komunikasi politik yang baik dan diplomatis.
Menurut Almond (1960), komunikasi politik adalah bagian dari tujuh sistem politik yang tidak berjalan sendiri, karena komunikasi membantu sistem-sistem politik lainnya. Prof Sumantri berpendapat sistem politik adalah pelembagaan dari hubungan antara manusia yg berupa hubungan antara supra struktur politik dan infra struktur politik. Supra struktur politik sendiri adalah penggerak mesin politik formal yang ada pada suatu negara. Dalam konteks kenegaraan Indonesia saat ini yang sedang hangat dibahas adalah hubungan Presiden dengan DPR dan MPR. Komunikasi politik yang baik tentunya mampu mensinergikan hubungan antar kekuatan supra struktur politik tersebut karena seperti yang sudah disebutkan oleh Almond, komunikasi politiklah yang menghubungkan baik antar sistem politik maupun antar komponen dari bagian supra struktur politik.
Mencermati hal tersebut, kebekuan Komunikasi politik PDIP yang terjadi disebabkan adanya ketidakmampuan para aktor politik di PDIP untuk membuka ruang komunikasi kepada partai-partai yang tergabung dalam KMP. Walaupun telah beberapa kali Jokowi bermanuver dengan mengatakan ada tiga partai yang berpotensi untuk bergabung dengan KIH, yakni Demokrat, PAN dan PPP, namun sampai saat ini publik bisa melihat hal tersebut Cuma strategi politik Jokowi untuk memancing rasa saling curiga di antara partai-partai yang tergabung dalam KMP, dan itu terbukti gagal karena sampai saat ini KMP sangat solid dengan telah dibuktikannya dengan berbagai “kemenangan” di parlemen.
Terkhusus untuk Demokrat, SBY sebagai Ketua Umum telah beberapa kali memancing PDIP untuk membuka komunikasi dengannya. Bisa dilihat dengan pernyataan SBY sebagai Ketua Umum Partai Demokrat di situs Youtube, yang menyatakan dukungan untuk pilkada langsung. Para pengamat banyak mengatakan pancingan SBY tersebut sebenarnya adalah cara SBY untuk menarik perhatian PDIP untuk duduk bersama membahas agenda pemerintahan ke depan. Komunikasi politik antar parpol seperti ini semestinya bukan lagi tugas Jokowi sebagai Presiden terpilih, namun sudah masuk ranah komunikasi antar pimpinan parpol. Megawati sebagai Ketua Umum PDIP pada kenyataannya tak mampu menyingkirkan dendam politik masa lalunya. Arogansi sebagai pemenang masih mendominasi sikapnya hingga memunculkan kebekuan komunikasi politik dengan Partai Demokrat.
Mengapa komunikasi dengan Partai Demokrat menjadi demikian penting? Jika melihat komposisi anggota DPR saat ini KMP ditambah Demokrat berjumlah sebanyak 353 kursi atau sebanyak 63% dan KIH berjumlah 207 kursi atau sebanyak 37% dari 560 anggota DPR keseluruhan. Dari hitungan matematis, Demokrat yang memiliki kursi sebanyak 61 kursi jika bergabung ke KIH memang belum melampaui total perolehan kursi KMP. Jika KIH digabung dengan Demokrat baru akan mencapai 268 kursi berbanding dengan KMP tanpa Demokrat sebanyak 292 kursi. Dengan demikian maka KIH hanya membutuhkan sekitar 25 kursi untuk mengalahkan perolehan kursi KMP. Sisa perolehan kursi ini dapat diraih ketika komunikasi dengan Demokrat tak mengalami jalan buntu karena secara psikologis, PAN dan PPP dikenal dekat dengan SBY serta merupakan partai yang sangat loyal kepada SBY ketika menjabat sebagai Presiden, walaupun spekulasi terakhir ini belum diyakini bakal terwujud. Kembali lagi komunikasi antar pimpinan Demokrat dan PDIP sangat penting, dalam hal ini antara SBY dengan Megawati, harus mampu menyingkirkan dendam dan luka masa lalu untuk duduk bersama membahas agenda pemerintahan secara bersama-sama. Jika Demokrat mendukung pemerintah Jokowi-JK dan menyepakati akan bergabung dengan KIH, maka stabilitas politik antara Pemerintah dengan DPR dapat menjadi baik. Kuncinya memang ada pada sikap negarawan kedua pemimpin partai, SBY dan Megawati, untuk duduk bersama bericara dari hati ke hati.
Lantas bagaimana dengan PAN dan PPP? Apakah dengan otomatis kedua partai tersebut bakal mengikuti jejak Demokrat jika Demokrat berpindah haluan? Mungkin citra PAN dan PPP sebagai partai yang loyal kepada SBY tidak serta merta membuat kedua partai ikut bergabung dengan KIH jika Demokrat berpindah haluan. Jika menganalisis dinamika internal PPP yang nampak saat ini, PPP masih mengalami perpecahan internal antara Kubu SDA dan Emron Pangkapi. SDA sempat “dikudeta” tapi tak terlalu lama SDA kembali mempimpin PPP. Celah ini sebenarnya bisa dimanfaatkan oleh KIH untuk membuka ruang komunikasi dan diplomasi agar mampu menarik PPP untuk dapat bergabung ke KIH, khususnya kubu Emron Pangkapi agar mampu mempengaruhi elit internal PPP untuk menyeberang ke KIH. Apalagi menjelang pemilihan pimpinan MPR, kabarnya PPP tidak dimasukkan ke dalam paket pimpinan MPR oleh KMP dan harus disingkirkan oleh kedatangan Demokrat untuk posisi pimpinan DPR. Beda soal dengan PAN. PAN memang sedikit lebih kompleks untuk dicermati peluangnya bergabung dengan KIH. Seperti yang diketahui, di PAN ada dua tokoh yang berpengaruh yakni Hatta Rajasa sebagai Ketua Umum dan Amien Rais sebagai Ketua Majelis Pertimbangan. Secara emosional memang Hatta mempunyai hubungan dan kedekatan kekeluargaan dengan SBY dan SBY mempunyai potensi untuk mempengaruhi sikap politik Hatta, namun jangan lupakan bahwa PAN tidak akan bisa lepas dari pengaruh Amien Rais sebagai Ketua Majelis Pertimbangan dan pendiri partai. Secara rasional, sangat kecil kemungkinan PAN akan bergabung dengan KIH. Maka hanya memungkinkan PPP-lah yang paling potensial untuk bergabung.
Menguasai suara mayoritas parlemen bukanlah bertujuan untuk menjatuhkan pemerintahan. DPR memililki tiga fungsi yakni Legislasi, Anggaran dan Pengawasan. Sementara MPR memiliki fungsi yang lebih vital bagi kelangsungan stabilitas demokrasi, yakni mampu mengusulkan pemberhentian Presiden dan mengamandemen UUD 1945. Oleh sebab itu pentingnya membuka komunikasi antar fraksi di parlemen yang harus dilakukan KIH untuk menjaga stabilitas politik dan kelangsungan demokrasi. Megawati sebagai Ketua Umum PDIP sebaiknya sedikit merendah dan dapat merangkul dua partai KMP untuk berkomunikasi dan berdiplomasi. Tentunya diplomasi yang dimaksud bukanlah dalam tujuan memasang posisi tawar untuk bertransaksi dalam posisi-posisi tertentu di pemerintahan atau pun bertransaksi untuk mendinginkan kasus-kasus hukum tertentu yang terindikasi melibatkan kader Demokrat atau pun PPP. Realitas politik tidak dapat dihindari bahwa KIH membutuhkan Demokrat dan PPP untuk duduk bersama membahas kelanjutan kehidupan demokrasi dan kalau memang tak bisa dihindari harus adanya kader kedua partai tersebut duduk di pemerintahan baru, maka KIH harus membuka peluang tentunya dengan prinsip bahwa yang akan duduk di pemerintahan adalah kader partai yang bersih, profesional di bidangnya dan mempunyai integritas tinggi serta mampu menjalankan visi kepemimpinan Jokowi-JK. Sekali lagi, semua hal tersebut bisa terwujud ketika Megawati mampu memecah kebekuan komunikasi politik yang terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H