Menyoal ihwal Bahasa tak ubahnya seperti menelusuri Samudra lepas yang luas dan dalam, tak habis-habisnya ditelesuri untuk diungkap misteri di dalamnya. Bahkan, kajian bahasa terus berkembang dan bertransformasi menjadi kajian yang semakin kompleks. Kompleksitas itu disokong dengan perkembangan manusia dari pelbagai aspek, baik sosio-kultural, geo-politik, hingga psiko-spritual. Hal tersebut dilatarbelakangi bahasa sebagai unsur yang melekat secara inheren pada manusia. Chomsky mengatakan bahwa kemampuan berbahasa itu spesies specific, artinya Bahasa merupakan karakteristik yang melekat dan hanya dipunyai manusia. Dardjowijojo dalam Bukunya Psikolinguistik mengatakan dengan mantabs dan tegas bahwa manusia mampu berbahasa, sedangkan hewan tidak!
Lebih lanjut, Beliau mengatakan mahluk lain, seperti hewan dan sejenisnya bisa meniru dan melakukan banyak hal seperti yang dilakukan manusia. Namun, hal itu hanya berlaku pada aspek nonverbal saja, ketika sudah pada aspek verbal di situlah terjadi perbedaan yang cukup signifikan. Hal itu terjadi karena berbahasa adalah kerja mental dan kognitif yang secara kodrati milik manusia. Â Jika ditinjau dari aspek neurolinguistik manusia memiliki otak yang berbeda dengan mahluk lain. Manusia dibekali innnate properties/ Peranti bawaan yang dianugrahkan Tuhan kepada manusia untuk memperoleh Bahasa. Peranti tersebut oleh Chomsky disebut sebagai LAD (Language Acquisition Device) atau LAS (Language Acquisition System). Pun secara biolinguistik manusia dibekali struktur mulut, rahang, gigi, dan lidah yang mendukung proses produksi kata, sehingga manusia bisa menghasilkan bermacam-macam bunyi distingtif.
Semakin kompleksnya kajian Bahasa seperti yang dipaparkan pada pengantar tulisan ini, tentunya tidak cukup hanya diakomodasi oleh kajian internal kebahasaan atau dikenal dengan kajian linguistik secara mikro, seperti fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan leksikologi. Kajian kebahasaan harus mulai dilihat secara makro dengan melebarkan spektrum kajian, melalui pengembangan-pengembangan lintas keilmuan. Keilmuan bahasa harus disandingkan dengan keilmuan lain agar tak seperti pepatah "katak dalam tempurung" yang hanya melihat dirinya melalui cermin yang sempit. Kajian lintas keilmuan yang kerap disebut sebagai hibridasi atau penggabungan disiplin ilmu tertentu dikawinkan dengan disiplin ilmu yang lainnya, akhirnya melahirkan keilmuan baru yang lebih canggih (sophisticated).
Dosen anutanku dari Universitas Negeri Malang Prof. Djoko Saryono pernah menulis paper yang dipresentasikan dalam kegiatan awal perkuliahaan masuk Pascasarjana pada tahun 2015. Judul papernya Menuju Era Multidisipliner dalam Kajian Bahasa dan Sastra Indonesia. Tulisan itu banyak mengulas persoalan kajian Bahasa dan Sastra lintas disiplin atau multidipliner, kalau meminjam bahasanya anak pertanian atau anak perternakan ini terminologinya disebut hibrida. Terminogi hibrida ini akhirnya diadaptasi dan diseleraskan dengan konsep kajian keilmuan yang bermetamorfosis menjadi kajian interdisipliner, transdisipliner, maupun multidispliner.
Hibridasi keilmuan dipicu atas kelemahan secara inheren bidang ilmu yang berorientasi monodipliner. Era monodispliner yang berkembang berkat pumpunan gerak divergensi memiliki kelemahan, kekurangan, dan keterbatasan. Oleh sebab itu, kekurangan tersebut ditambal-sulam, ditanggapi, diperbaiki, dicanggihkan, dan digegser oleh gerak konvergensi yang menumbuhkan multidisplineritas ilmu. Kajian bahasa yang berorientasi  monodisplineritas juga masih menjadi primadona dalam kajian-kajian terkait kebahasaan. Riset bahasa yang masih berada pada dimensi struktural menjadi kajian andalan para penganut formalisme bahasa. Kunjana Rahardi dalam Buku Pragmatik Konteks Intralinguistik dan Konteks Ekstralinguistik mengatakan penganut formalisme tersebut menengok bahasa dengan terepong yang sempit dan pendek, sehingga yang terjadi studi bahasa hanya dilihat sebagai fenomena tunggal, bahasa dipandang sebagai entitas yang bersifat homogen, bahasa tidak terkait dengan persoalan fakta sosial, dan seterusnya. Konteks juga belum dilibatkan dalam studi bahasa yang secara formalistik, kecuali konteks dalam pengertian linguistik yang disebut dengan konteks intralinguistik atau konteks internal bahasa, dan selanjutnya dipahami sebagai koteks. Padahal, bahasa merupakan entitas yang hidup di lingkungan sosial yang makro. Akan tetapi, bukan berarti kajian bahasa dari aspek internal salah atau jelek. Tidak! Justru kajian internal merupakan dasar yang harus menjadi landasan teoretis maupun praktis untuk ke arah kajian yang bersifat ekstra atau eksternal. Jangan mencak-mencak dulu ya penganut mazhab formalisme! Hehe
Era monodisipliner ini menjadi tanda bidang-bidang ilmu memisah-misahkan diri atau yang oleh Prof. Djoko disebut divergensi. Hal itu terjadi karena asas semangat kebebasan ilmiah, netralitas, objektivitas, dan universalitas. Asas tersebut menghasilkan bidang keilmuan yang berkembang pesat menjadi spesialisasi dan partikularisasi. Jumlahnya begitu banyak dan melimpah ruah. Potensi perkembangan ilmu spesialistis-partikular berkembang dari pokok pohon hingga ke cabang-cabang ilmu, bahkan ke ranting-ranting. Keilmuan yang paling masif beranak-pinak menjadi spesialis dan partikular adalah bidang kedokteran. Sebenarnya bidang-bidang lain juga berkembang dari pohon pokok keilmuan ke ranting-ranting ilmu, seperti linguistik, terbagi ke fonologi, morfologi, dan seterusnya.
Fajar Era Monodisplineritas keilmuan berkembang demikian yakin atas sokongan dari adanya aspek ontologis dan epistemologis. Menurut Prof. Djoko adanya ontologi ilmu tersebut bidang ilmu bisa dikaji secara heuristis (tuntas). Extraordinary claim dari ontologis ilmu ini adalah ,senyampang keilmuan itu ditinjau dari aspek ontologis, tidak perlu lagi diragukan eksistensinya. Begitu pun, dari aspek epistemologis diyakini mampu mengobservasi, mendeskripsi, dan mengeksplanasi secara tepat cermat. Hubungan ontologi dan epistemologi mampu mengonstruksi bangunan metodologis keilmuan yang kokoh, kuat, dan ketat. Namun, yang terlupa dari pola divergensi yang membentuk monodisplineritas ilmu adalah aspek aksiologi. Prof. Djoko Saryono mengatakan bahwa, dalam pandangan divergensi, aspek aksiologi seperti dinafikan dan berkecenderungan dieliminasi. Pada poin itu aspek aksiologi bukan urusan ilmuwan atau urusan bidang ilmu karena ontologi dan epistemologi dinilai netral dan objektif dari kepentingan dan kekuasaan tertentu. Sebab musababnya hal itu terjadi akibat sterilisasi dan sofistikasi objek dan metode. Oleh sebab itu, canggihnya ilmu itu harus dibangun dari unsur kedirian keilmuan tersebut, bukan disokong aspek eksternal di luar keilmuan.
Dari paparan di atas berimplikasi antara disiplin ilmu yang bersifat spesialistis-partikular dengan keilmuan yang lain tidak boleh digabungkan baik secara metodologis maupun teoretis. Jangankan digabungkan konon saling sapa pun haram. Praktis saling-silang keilmuan dalam pandangan monodisiplineritas adalah dicap oportunis. Hal itu juga terjadi dalam konteks penelitian, penggunaan satu teori dan satu metodologi adalah yang paling sah dan benar. Pencampuran berbagai keilmudan dalam rancangan peneltian dan praktik penelitian dinilai mengobrak-abrik kesucian suatu kajian ilmiah. Penggunaan berbagai teori dan metodologi secara serempak dalam suatu kegiatan penelitian itu seperti memperkosa keilmuan. Dengan kata lain, penggunaan dua atau lebih teori dan metode dalam suatu kerja ilmiah dipandang negatif. Yang secara peyoratif disebut sebagai eklektisme. Ekletisme dianggap suatu pendekatan kajian ilmiah yang tidak punya nilai akademis dan keterandalan validitas ilmiah. Menurut Prof. Djoko akibat yang ditimbulkan pola hibridasi tersebut tidak dianggap sebagai multidispliner maupun interdispliner, melainkan eklektisme (percampuran keilmuan belaka).
Fajar monodispliner sedikit dinaungi selubung kabut hingga mulai terlihat samar-samar ketika kaum fungsionalis mengepakan sayap dan tajinya untuk mengkritisi kaum monodispliner. Pelopor fungsionalisme ilmu bahasa dan juga tokoh kajian sastra Roman Jakobson  mengatakan bahwa teori dan metodologi berlandaskan monodispliner-positivis-partikular bakal kedodoran mengeksplanasi objek ilmu.  Keilmuan berkembang, pun bahasa berkembang, subjek bahasa dalam hal ini masyarakat juga berkembang, otomatis berimplikasi pada kecendurangn riset-riset bahasa yang ikut berkembang. Hal tersebut semakin membuka selubung  yang menutupi kekurangan yang dikandung secara inheren monodisplineritas.  Contoh sederhana, konsep bahasa acap kali didengung-dengungkan kaum tradisonal dengan terminologi arbitrer (semena-mena). Penyimbolan dan pemaknaan bahasa berdasarkan pandangan kaum strukturalis adalah berdasarkan konvensi pengguna bahasa yang bersifat semena-mena, yang muaranya alfa terhadap tujuan penamaan dan dasar penyimbolan.  Di era sekarang, penyimbolan dan pemaknaan bahasa tidak bisa semena-mena, harus dirunut dari aspek filosofis dan tujuannya. Contohnya, jenama sebuah produk atau ketika memberi nama anak. Tentu saja, tidak berlandaskan arbitrer pada era ini. Poin dari paparan tersebut dapat disiratkan bahwa aspek eksternal untuk menyokong penyimbolan dan pemaknaan dilibatkan. Tidak cukup dari unsur internal saja.
Guna mengatasi masalah krusial nan genting tersebut ilmuwan yang antimainstream atau ilmuwan alternatif mencoba memformulasikan saling-silang bidang ilmu, kolaborasi antarbidang ilmu, mengawinkan teori dan metode keilmuan tertentu dengan tujuan menambal sulam kekurangan internal yang dikandung monodisplineritas. Pertalian dengan bidang lain itu bisa bersifat antardisiplin ilmu sehingga menghasilkan kajian-kajian bidang interdisipliner linguistik seperti sosiolinguistik, psikolinguistik, antropolinguistik, etnolinguistik, genolinguistik, ekolinguistik, sosiopragmatik. Pada sisi yang lain, penelitian-penelitian interdisipliner bahasa itu juga dapat dikembangkan lebih lanjut dengan berkolaborasi pada bidang-bidang lain yang masih satu rumpun ilmu, misalnya saja stilistika pragmatik yang memadukan studi antara bidang linguistik, stilistika, dan pragmatik
Kolaborasi dengan bidang-bidang yang lain itu bisa saja terjadi secara lintas bidang di luar bidang-bidang yang serumpun. Kajian ekopragmatik, misalnya saja, memadukan bidang ekologi, linguistik, dan pragmatik. Ekopragmatik merupakan pengembangan lebih lanjut dari ekolinguistik yang pada awalnya mempelajari ekologi dan linguistik. Dalam studi ekolinguistik, konteks sama sekali tidak diperantikan sehingga hasil studi makna atau studi maksud dalam ekolinguistik lazimnya tidak mencapai tataran optimal. Tuntutan untuk memaksimalkan studi maksud atau studi makna itulah yang semakin mendorong studi-studi lintas bidang.