Pada tahun 2015 yang lalu, Konferensi Tingkat Tinggi Iklim di Paris mewajibkan seluruh negara industri dan maju di dunia mencapai Net  Zero Emission (NZE) pada tahun 2050 mendatang. Indonesia sendiri melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan bisa mewujudkan NZE pada tahun 2060. Dengan kata lain target negara kita lebih lama 10 tahun dari target negara -- negara dunia dalam mencapai atmosfer bumi yang bebas emisi. Hal ini karena memang tidak mudah menggeser kebiasaan -- kebiasaan lama yang cenderung tidak ramah lingkungan menjadi kebiasaan -- kebiasaan baru yang ramah terhadap lingkungan.
Untuk mencapai target NZE Â pemerintah telah menyiapkan lima strategi. Pertama, pemerintah akan meningkatkan pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT), termasuk bahan bakar nabati. Kedua, pemerintah terus berupaya untuk mengurangi pemakaian energi fosil. Ketiga, pemerintah berkomitmen untuk memperluas pemanfaatan transportasi berbasis listrik di Indonesia. Keempat, pemerintah mendorong pemanfaatan listrik pada sektor rumah tangga hingga industri. Kelima, pemerintah mendukung penerapan carbon capture and storage (CCS) atau penangkapan dan pemanfaatan karbon untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Namun pemerintah tidak bisa berjalan sendiri, melainkan membutuhkan kolaborasi yang radikal untuk mengembangkan dan mewujudkan solusi -- solusi inovatif dalam skala masif. Kolaborasi itu harus melibatkan semua sektor dari tingkat lembaga atau perusahaan hingga tingkat individu. Perusahaan harus mulai menunjukkan komitmen mereka dalam mengurangi emisi di rantai produksi dan distribusi. Sedangkan di tingkat individu, setiap orang harus bisa ikut membantu dengan menerapkan gaya hidup yang rendah emisi seperti menggunakan transportasi umum, mengurangi penggunaan plastik,serta memilah dan mengolah sampah dari rumah.
Mengolah Sampah Menjadi Karya Seni
Dalam upaya mendukung pemerintah mencapai target Net Zero Emission, ternyata hanya segelintir orang yang mau terlibat. Karena memang mengubah gaya hidup lama menjadi gaya hidup yang rendah emisi bukanlah usaha yang mudah. Harus ada komitmen dan konsistensi dalam melaksanakannya.
Salah satu orang yang mau terlibat adalah Darius Irenius, seorang pelukis asal Kabupaten Malaka. Pemuda yang tinggal di Kelurahan Litamali, Kecamatan Kobalima itu telah mengurusi sampah sejak tahun 2016. Ia bahkan menjadikan gaya hidup ini sebagai pekerjaan yang mendatangkan cuan.
Motivasi awalnya hanya untuk mengekspresikan diri dan perasaannya karena pernah diperlakukan seperti sampah. Â Ia kemu dian membuktikan kepada orang -- orang bahwa sampah juga bisa menjadi sesuatu yang berguna. Berbekal kemampuan melukisnya, Darius mulai bereksperimen dengan sampah -- sampah yang berserakan di sekitar rumahnya dan menjadikannya sebagai sesuatu yang bernilai.Mengapa harus melukis dengan sampah? Bagi Darius, ada tiga faktor yang membuatnya memilih sampah sebagai media seninya. Pertama, sampah itu mudah ditemukan di mana saja. Kedua, Darius ingin membuat karya yang unik yang berbeda dari pelukis -- pelukis kebanyakan. Ketiga, ia ingin membantu pemerintah menjaga bumi tetap lestari dan bebas emisi.
Dia menggunakan kombinasi dua jenis sampah sekaligus dalam berkarya, yakni sampah organik dan non-organik. Sampah organik berasal dari dedaunan kering, potongan dan serbuk kayu, kerikil dan sebagainya. Sementara bahan non-organiknya berupa botol plastik, kertas, kaleng minuman bersoda, kain perca dan benang sisa tenunan para ibu pengrajin di kampungnya.
Sampah -- sampah itu  ia kumpulkan di sebuah bengkel seni miliknya. Letaknya tidak jauh dari Gereja Katolik St. Laurensius Wemasa. Di sana pria kelahiran Kapan itu membersihkan, mengeringkan, memotong, membentuk pola, menempel hingga membentuk mozaik --mozaik yang indah.
Karya -- karya Darius yang berasal dari sampah itu awalnya dipandang sebelah mata. Tak jarang pula ada yang mengatakan bahwa karyanya biasa-biasa saja. Darius tidak menggubris. Ia malah dengan candaan menulis di dinding facebooknya, "Ketika karya -- karyamu dianggap biasa -- biasa saja, jangan direspon, selera mereka saja yang berbeda."
Banyak pula yang menyerang pribadinya dengan gunjingan -- gunjingan yang tidak produktif. Mereka mengatakan Darius sebagai orang yang tidak punya kerjaan dan setiap hari jalan -- jalan tanpa tahu juntrungannya. Namun, bak anjing menggonggong kafilah berlalu, ia terus berkarya. Ia berusaha melawan pandangan buruk itu dengan memaksimalkan upayanya dan upaya itu membuahkan hasil. Seiring berjalannya waktu karya -- karya Darius d iterima di masyarakat bahkan tembus sampai ke negara tetangga Timor Leste. Banyak orang menyukai karya-karyanya itu sebagai karya unik  yang ramah lingkungan dan sangat berperan besar dalam mengurangi emisi.