Malam itu, Rena merasa hidupnya hancur. Orang tua yang dicintainya lebih mengutamakan ego dan tradisi adat daripada kebahagiaannya. Bagaimana mungkin dia bisa hidup dengan kondisi seperti ini tanpa kehadiran Jimi di sampingnya.
Lama dia berbaring di ranjang itu sambil menangis. Matanya memerah. Kelopak matanya membengkak. Rambutnya tergerai tak beraturan. Ia benar -- benar stres.
Rena kemudian ingat pada patung bunda Maria di kamarnya itu. Ia bangun dari tempat tidur. Dia duduk di depan patung Bunda Maria dan hanyut di dalam doa -- doa.
Setelah berdoa, Rena ingat kalau dia pernah berjanji pada Jimi,
"Kalau mereka menolak saya janji saya siap pergi dari rumah untuk tinggal dengan kau dalam susah atau senang."
Rena segera mengambil handphonenya dan menelepon Jimi. Sepertinya Jimi pun menunggu panggilan darinya.
"Halo sayang, ada di mana?" kata Rena sambil berbisik
"Saya ada duduk di Taman GOR sini. Saya stress deng kita punya hubungan ini sayang. Di sini saya coba untuk menenangkan diri. Bagaimana sayang?" Tanya Jimi
"Saya su pernah janji kalau mereka menolak apapun yang terjadi saya keluar dari rumah ini dan tinggal deng kau. Kalau kau benar -- benar sayang saya. Kau tunggu saya di pertigaan jalan masuk ke rumah ini e. sedikit lagi saya susul kau ke sana. kalau lu sonde datang, itu artinya kita sonde akan pernah bertemu lagi." Kata Rena mengultimatum sang pacar.
Jimi antara takut dan senang berpadu menjadi satu rasa. Iya hanya menjawab iya sayang. Lalu bergegas menghidupkan motornya lagi dan berjalan ke tempat yang dijanjikan.
Rena juga mengambil koper hitamnya di bawah ranjang. Ia menaruh pakaian -- pakaiannya secara acak, surat -- surat penting dan segala yang dia perlukan di dalam koper itu. Ia membuka jendela kamarnya, menyelinap dengan diam -- diam dan menghilang di tengah gelapnya malam.