Rinai hujan malam itu, dia berdiri di emperan rumah menjinjing sebuah tas lusuh abu -- abu. Wajahnya cemas bertabur seribu tanya. Mengapa? Mengapa? Mengapa? Tapi tanya -- tanya itu mengambang. Tak ada jawaban.
Hujan semakin deras, dia semakin cemas. Tiket bus di tangannya tak boleh berhembus sia -- sia. Saat klakson memanggil, dia menerobos hujan tak peduli tubuh yang mulai layu dimakan usia.
Dengan bus, dia berjalan ratusan kilometer menatap gulita sepanjang jalan. Dingin menjajahnya, dia bergeming. Seolah tak terjadi apa -- apa sekalipun bibirnya gemetar dan jari keriputnya dia sembunyikan di dalam baju.
Mungkin kau bertanya, untuk apa? Untuk berdiri di sisimu sebagai seorang ibu. Membantumu melawan yang tak bisa kau lawan. Menjagamu dari amuk yang kau anggap takdir, supaya mereka tak merasa tuan atas hidupmu. Hidup yang kau terima dari nafasnya.
Dari rahimnya kau lahir. Darah yang mengalir dalam ragamu adalah darahnya. Bukankah sakit yang kau rasakan, dia juga merasakannya? Dia ingin menyeka air matamu dengan tangannya sendiri, supaya tak ada tangan lain menyentuhmu dan menyombongkan diri.
Dia juga membawa seribu mengapa yang mesti dijawab. Mengapa mereka melukaimu? Mengapa mereka merendahkanmu? Mengapa mereka menguasai hidupmu dan mengapa, mengapa yang lain yang membuat hatinya nelangsa. Supaya pikirannya tenang, hatinya damai dan kau pun merdeka.
Atambua, 19 Februari 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H