Pada tanggal 1 November 2018, Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil menandatangani Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) yang akan berlaku di provinsinya mulai tahun depan. Di dalam UMK tersebut, lagi-lagi Kabupaten Karawang menjadi kabupaten dengan UMK tertinggi di Jawa Barat, dengan besaran  4.234.010 rupiah.Â
Tingginya UMK di Kabupaten Karawang bukan karena sulap atau sihir, melainkan berdasarkan formula perhitungan upah minimum yang telah ditentukan di dalam Pasal 44 ayat (2) PP no. 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan dan ditetapkan oleh Gubernur.
Kenaikan UMK ini tentunya disambut hangat oleh para buruh yang bekerja di Kabupaten Karawang. Walaupun masih ada beberapa pihak yang merasa kurang puas, toh nyatanya kenaikan UMK ini bisa mengalahkan kenaikan UMK di DKI Jakarta yang hanya berkisar di angka 3.940.973 rupiah.Â
Dengan dinobatkannya Kabupaten Karawang menjadi kabupaten dengan UMK terbesar se Jawa Barat atau bahkan se Pulau Jawa, ternyata memiliki beberapa konsekuensi pahit yang harus dihadapi.Â
Di dalam tulisan ini, penulis tidak bermaksud untuk menggurui apalagi nyinyir. Penulis hanya ingin mengajak semua pihak  untuk merenungkan sejenak akan hal ini, dengan harapan konsekuensi pahit tersebut dapat di atasi dan win-win solution dapat tercapai.
Untuk konsekuensi pahit tersebut, penulis hanya akan memberikan 3 konsekuensi pahit yang paling umum. Ketiga konsekuensi pahit tersebut di antaranya adalah:Â
Pertama, banyak perusahaan yang memberhentikan buruhnya (PHK) karena tidak sanggup membayar upah. Pada tanggal 23 Januari 2018, Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Kabupaten Karawang merilis data bahwa ada sekitar 11.875 Â buruh yang terkena PHK di akhir tahun 2017, karena perusahaannya tidak sanggup membayar upah.Â
Menurut Ketua Kadin Kabupaten Karawang, Fadludin Damanhuri di dalam Kompas tanggal 23 Januari 2018, salah satu penyebab terjadinya hal tersebut adalah UMK yang terlalu tinggi. Fadludin menerangkan bahwa absennya pihak pengusaha di dalam perumusan UMK, akan menjadikan permasalahan ini semakin berlarut.Â
Ia juga menambahkan bahwa perusahaan-perusahaan yang tidak memiliki  resistensi yang tinggi akan terbebani oleh kenaikan UMK yang terlalu tinggi, sehingga dikhawatirkan gulung tikar.
Kedua, UMK yang terlalu tinggi menjadikan Kabupaten Karawang kurang diminati oleh investor industri tekstil. Menurut Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kabupaten Karawang, Ahmad Suroto dalam Kompas 13 November 2018, sepanjang tahun 2017 hingga November 2018 terdapat 21 perusahaan yang pindah dari Kabupaten Karawang.Â
Ia pun memprediksikan bahwa ada 5 perusahaan yang akan menyusul di tahun 2019. Suroto menjelaskan bahwa perusahaan-perusahaan yang pindah dari Kabupaten Karawang, rata-rata perusahaan di bidang tekstil. Menurutnya, salah satu penyebabnya adalah UMK Kabupaten Karawang, yang dinilai terlalu tinggi sehingga membebani pelaku usaha tekstil.Â
Sementara untuk saat ini sektor industri manufaktur masih dinyatakan aman dan belum terpengaruhi secara signifikan oleh tingginya UMK.
Ketiga, tingginya UMK tahun 2019 di Kabupaten Karawang menghasilkan ketimpangan UMK di daerah  lain, sehingga Kabupaten Karawang menjadi tujuan urbanisasi. Tingginya UMK di Kabupaten Karawang menjadikan kabupaten tersebut sebagai "tanah harapan" bagi para pencari kerja. Apabila hal tersebut tidak disikapi secara bijak, Kabupaten Karawang akan mengalami urbanisasi besar-besaran dalam  beberapa tahun mendatang.Â
Berdasarkan data yang dirilis oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Karawang, pada tahun 2018 populasi pendatang telah mencapai 60% dari total populasi penduduk Kabupaten Karawang. Artinya, sebanyak 1,7 juta dari total 2,9 juta penduduk Kabupaten Karawang adalah pendatang.Â
Hal ini telah terjadi semenjak tahun 2016 lalu. Urbanisasi yang tidak terkendali ini akan menyebabkan persebaran penduduk yang tidak merata dan dapat menimbulkan masalah-masalah sosial apabila tidak diantisipasi dengan baik.Â
Masalah-masalah sosial sosial tersebut di antaranya adalah kemungkinan adanya kesulitan mencari kerja bagi penduduk asli, karena kehadiran pendatang akan menjadikan proses mencari pekerjaan menjadi semakin kompetitif.Â
Pada tahun 2011 Pemerintah Kabupaten Karawang memiliki solusi instan untuk mengatasi permasalahan tersebut, yaitu dengan menerbitkan Perda No. 1 Tahun 2011 tentang Ketenagakerjaan.Â
Sebagai kebijakan afirmatif yang bertujuan untuk mempermudah penduduk asli Kabupaten Karawang mendapatkan pekerjaan, perda tersebut mengharuskan perusahaan yang berada di daerahnya menyediakan kuota 70% bagi penduduk asli Kabupaten Karawang. Namun, pada tahun 2016 Perda tersebut telah dibatalkan karena dianggap diskriminatif. Â
Dengan meihat berbagai konsekuensi-konsekuensi pahit di atas, sekali lagi penulis berharap agar pemerintah, pengusaha, maupun buruh, segera  mencari titik terangnya dan win-win solution.
Hal ini tidak lain agar konsekuensi pahit di atas tidak menjadi bom waktu yang suatu saat dapat meledak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H