RedCarra, No. 2
Dak lela lela lela ledung
Cep meneng aja pijer nangis
Anakku sing ayu rupane
Yen nangis ndhak ilang ayune...
Kuhentikan gerakan tanganku yang sedang membolak-balikkan ketela yang sedang dijemur. Tubuhku gemetar, seakan ada aliran listrik menjalari setiap lubang pori-pori. Mataku mulai kembali berawan, dan ada panas menyengat di pangkal hidung. Aku menahan napas sejenak, mencoba mengatur gejolak dalam dada.
Suara Simbok memang merdu. Mendayu. Namanya juga mantan sinden. Walaupun bukan yang paling terkenal, tapi menurut cerita bulik-bulik, Simbok cukup laris dipanggil terutama untuk mengiringi acara ngundhuh mantu.
Di antara merdu suara Simbok, terdengar kicauan Jingga diselingi tawa-tawa kecil.
"Jingga ki lho. Kok ndak mau bobok, to? Wis ditembangke kawit mau(1) kok ya, ndak mau bobok." Suara Simbok sudah terdengar di belakangku. Aku bergegas meneruskan kegiatanku menjemur ketela, berusaha menyembunyikan kilau air di sudut mata.
"Ya sudah to, Mbok, kalau belum mau bobok ya sudah. Jangan dipaksa." Pelan aku berujar. Tetap sambil menunduk.
"Ha nanti rewel, kalau ndak mau bobok."
Dadaku menyesak. Dalam diam, kuteruskan kegiatanku. Tanpa berniat untuk menengok sedikitpun ke arah Simbok.
Simbok kembali bersenandung, meninabobokan Jingga.
Jingga sebenarnya tak pernah rewel. Itu cuma karena sayangnya Simbok saja pada cucu semata wayangnya itu.