Mohon tunggu...
Red Carra
Red Carra Mohon Tunggu... -

Blogger. Visual Communicator. Web and Social Media Worker.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Fiksi Fantasi] Portobello Road, 27 Maret 3313

17 September 2014   18:17 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:26 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

There will be times when books are only in our memories.

RedCarra, no.13

London, 27 Maret 3313

Bia mengawasi pria yang baru saja masuk ke dalam toko bukunya dari balik meja kasir. Pria itu mengelilingi rak-rak buku. Cukup lama, hingga Bia tahu bahwa dia tidak menemukan apa yang dicari.

“Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya dengan manis setelah berada beberapa langkah dari pria itu.

“Mmm, tidak ada buku selain buku dongeng untuk anak-anak?”

Bia menggeleng. “Maaf, tidak ada. Kami memang mengkhususkan diri untuk menjual buku-buku dongeng untuk anak-anak.”

Si pria menghela napas.

“Buku apa yang sebenarnya Anda cari?”

“Buku novel roman. Entah kapan terakhir kali saya membacanya. Semakin lama semakin langka saja buku-buku ini. Tergantikan oleh yang lebih modern.”

“Saya tahu yang Anda maksud. Orang memang lebih memilih membeli chip berisi data yang mereka butuhkan lalu tinggal memasukkannya ke dalam slot yang ada di belakang kepala masing-masing ketimbang membaca buku. Buku bagi mereka berarti kuno dan tidak praktis.”

“Tapi kenapa Anda bertahan dengan toko buku ini?”

“Yah, memang semakin sulit mempertahankan toko buku ini. Semua orang semakin ingin praktisnya saja. Ketimbang membacakan buku dongeng, mereka lebih suka menyodorkan papan-papan elektronik itu pada anak-anak, atau ya itu tadi, tinggal memasukkan chip saja ke dalam slot kepala. Tapi, kadang sekali waktu tetap ada yang menginginkan buku-buku, terutama untuk dikoleksi. Termasuk buku dongeng untuk anak-anak. Sebagian karena ingin meneruskan koleksi yang sudah diwariskan, sebagian lagi karena penasaran karena cerita dari orang-orang tua yang juga hanya mendengar cerita dari orang-orang tua sebelumnya.”

“Anda hebat. Anda mampu bertahan dengan toko ini. Saya kira toko ini juga warisan keluarga?” tanya pria itu sambil tersenyum.

Bia mengangguk. “Terima kasih. Betul. Kami sudah memulainya sedari kakek dari kakek dari kakek buyut saya.” Bia tertawa lirih. “Dan Anda sendiri, termasuk pembaca buku yang mana?”

“Saya termasuk yang pertama. Orang tua saya keturunan kesekian pengoleksi buku. Namun saya tidak bisa banyak menambahnya karena begitu mahalnya buku-buku ini. Tapi saya harus meneruskan tradisi keluarga ini.Ada banyak jenis buku di rumah saya. namun saya paling suka membaca novel roman ataumisteri. Ada beberapa novel roman dari zaman keemasannya yang saya simpan di dalam lemari besi. Jane Austen, Margareth Mitchell, dan beberapa lagi yang lain. Harta saya yang paling berharga.”

Bia kembali tersenyum. Dia selalu menikmati obrolan dengan orang-orang yang mau masuk ke dalam toko bukunya. Apalagi jika orang itu ternyata mempunyai penghargaan begitu besar terhadap buku, barang yang sudah sangat langka di bumi ini.

“Ah, baiklah kalau begitu. Saya akan coba cari di tempat lain.” Pria itu hendak beranjak pergi.

“Oh, sebentar!” Bia berbalik ke meja kasir, dan kembali lagi dengan sesuatu di tanganya. “Toko kami berulang tahun hari ini. Jadi, ini ada sedikit suvenir untuk Anda.”

Pria itu mengamati benda kecil yang ada di tangannya. Sebuah lampu baca antik yang kecil. Ada semacam penjepit yang bisa diselipkan di antara halaman buku. Lampu baca yang panjangnya tak lebih 10 inci itu mempunyai tangkai yang lentur, bisa dibengkokkan ke segala arah. Ada bohlam kecil di ujungnya. Ketika kamu mengusapnya, dia akan memendarkan cahaya kecil namun terang sekali. Untuk mematikannya, kamu cukup mengusapnya sekali lagi.

Pria itu tersenyum. “Wah, ini akan sangat berguna sekali buat saya. Terima kasih banyak!”

Pintu toko menutup otomatis begitu pria tadi keluar. Bia mengarahkan telunjuknya ke arah pintu itu, lalu sedetik kemudian terdengar bunyi “klik”. Terkunci. Lalu dia kembali ke kursinya di belakang meja kasir.

Toko buku Bia terletak di tepi salah satu jalan kota London yang eksotik, Portobello Road, yang berada di salah satu distrik ternama yaitu Notting Hill. Seiring bertambahnya usia bangunan-bangunan yang ada di sana, pemerintah semakin galak melindungi harta warisan arsitektur yang bergaya Victorian itu. Di bagian negara lain, bangunan menjulang tinggi tak terbendung. Namun Portobello Road masih mempertahankan keanggunannya.Memang banyak sekali toko antik berderet-deret di sepanjang jalan itu. Toko furniture antik, toko mainan antik, toko gadget antik, termasuk toko buku antik milik keluarga Bia. Portobello Road bahkan masih mempertahankan tradisi road marketnya yang sudah dimulai sejak lama. Ya, pada hari Sabtu, akan banyak orang dan pedagang kaki lima tumpah ruah di jalan di depan toko Bia menjual berbagai macam barang antik.Hiruk pikuk pejalan kaki mengaburkan bias teknologi yang semakin canggih. Di saat itulah, Bia merasa cukup senang hanya menjadi saksi sisa-sisa kejayaan manusia.

Buku memang sudah menjadi barang antik yang langka. Banyak orang lebih suka barang-barang digital yang lebih praktis, yang kadang malah lebih murah.Bia menghela napas. Ingatannya berlari kembali ke hologram-hologram album foto keluarga yang disimpan dalam chip di salah satu kotak penyimpanan di kamar Kakek. Dulu toko ini pernah mengalami masa jayanya. Setiap anak yang diajak oleh orang tuanya berjalan-jalan ke Portobello Road, pasti dengan gembira akan menunjuk masuk ke toko buku ini. Mereka akan berlarian ke sana kemari, memilih dan memilah buku dongeng kesukaan masing-masing. Kakek buyut dari kakek buyutnya, bahkan pernah menyediakan ruang baca khusus untuk anak-anak di salah satu sudut toko, dilengkapi dengan bantal-bantal besar dan juga pojok minum untuk mereka yang ingin membaca di situ.

Bia melirik ke salah satu sudut tokonya, dan kembali menghela napas. Ah, sekarang semuanya sudah semakin menua. Dia pun sudah tak merasa sanggup untuk memelihara kenyamanan yang sudah terbangun. Pojok baca itu sudah terbengkalai sekarang, karena sudah tak ada anak-anak lagi yang mau mampir dan membaca di situ.

Bia melirik lagi ke jam digital yang tertanam di dalam tembok ruang toko bukunya.

Sudah pukul 21.00.

Sebentar lagi waktunya…

Tiba-tiba … Bruk! Buku dongeng Cinderella jatuh dari rak.

Bia tersenyum. Sudah waktunya. Jika anak-anak London sudah tidak ada yang mau bermain dan membaca buku di sini, namun setidaknya masih ada yang selalu ingin berkumpul, begitu pikirnya.

Bruk! Kali ini buku dongeng Thumbellina yang jatuh.

Bruk! Bruk! Bruk! Lalu ada belasan buku dongeng lain terjatuh dengan sendirinya dari rak.

Tiba-tiba ada asap keemasan berkelap kelip muncul dari dalam buku-buku dongeng yang jatuh dalam keadaan terbuka. Berputar-putar, semakin memenuhi ruangan toko buku itu.Semakin membubung, semakin menyebar. Toko buku Bia menjadi begitu menyilaukan. Bia melindungi matanya dengan tangannya.

Dua menit bermandikan cahaya, kini semua berangsur kembali pudar.

Bia menurunkan tangan. Di hadapannya kini berdiri belasan tokoh dalam dongeng dunia. Pinokio, Hansel dan Gretel,Belle, Bambi, Rapunzel dan lain-lain.

“Hanya segini yang datang?” tanya seseorang. Oh, lihat, itu Tinkerbell! Dia terbang ke sana kemari mengamati orang-orang yang datang.

“Sepertinya begitu. Semakin hari semakin sedikit saja yang mau datang untuk merayakan hari ini,” sahut Tiana.

“Selamat datang, Kawan-kawan. Tak mengapa cuma sedikit yang datang. Mari kita rayakan hari ini, dan berharap agar masih tetap ada yang mencintai buku-buku dongeng seperti kita,” sambut Bia.

Hari ini, 27 Maret, hari ulang tahun toko Bia. Waktu dan tempat mereka saling berkumpul, dan bernostalgia.

Tak banyak yang mereka perbuat dalam perayaan itu. Tak ada pesta. Yang ada hanya mengenang. Betapa pada zamannya mereka menghiasi setiap relung hati anak-anak di bumi. Ketika mereka hadir di waktu-waktu tertentu sebelum tidur malam. Ketika mereka menjadi khayalan terindah anak-anak.

Lalu ketika akhirnya mereka dilupakan, dan digantikan oleh apa-apa yang lebih modern. Kendaraan-kendaraan terbang yang bersliweran di luar sana. Manusia setengah robot yang berlalu lalang di trotoar susun. Bahkan tak ada lagi burung-burung gereja yang terbang rendah mencari makan.

Bia menghela napas dan tersenyum sambil memandang berkeliling. Senangnya berkumpul begini. Walaupun entah bisa sampai kapan.

“Mari kita nikmati saja, selagi bisa,” bisiknya.

------ selesai ------

Yogyakarta, 17 September 2014 @ 11:05

1187 kata

NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun