Ceritaku untuk Papa di atas sana.
Papa. Papa. Papa.
Papa dan aku. Kita tak bisa dekat satu sama lain ya pa. Hehehehe aku bingung mesti mulai darimana.
Papa. Kita selalu berbeda pendapat. Setiap aku melakukan ini papa mau yang itu. Papa mau ini aku mau itu. Benar benar berbeda. Aku dan papa.
Pa, bagaimana papa sekarang? Apa papa lihat aku yang sekarang pa? Apa papa selalu menjagaku dari atas sana? Pa, apa papa lihat sekarang aku menangis pa. Menangis pa. Aku tak tahu kenapa pa, air mataku mengalir begitu saja. Apa yang ku tangisi pa?
Sudah satu tahun lima bulan papa pergi. Pergi meninggalkan kami semua. Tapi kenapa bagiku itu baru terasa kemarin ya pa? Menyentuh tangan papa yang kasar karena pekerjaan papa dan dingin. Tangan papa dingin sekali.
Kenapa aku menangis lagi pa? Apa karena aku belum merelakan papa? Tidak. Bukankah aku orang pertama di antara yang menerima kepergian papa. Bukankah aku yang paling kuat ketika dokter bilang papa sudah tak ada. Aku bahkan masih melihat jam yang ada di dinding rumah sakit itu ketika dokter mengatakan papa udah ga ada. Tanggal 16 Februari 2010 pukul 4.05 pagi. Papa pergi. Pergi untuk selamanya.
Tanpa kuduga pa. Tanpa kuduga. Papa tidak menunjukkan tanda apa apa, tetapi tak butuh waktu dua belas jam, penyakit itu merenggut papa dari kami.
Waktu mendengar kakak yang berteriak histeris waktu itu, ada sedikit perasaan bersalahku pada papa. Tapi tak butuh waktu lama juga aku membuang perasaan itu.
Papa, apa papa tahu waktu papa pergi aku kosong sekali. Kosong pa. Aku tak tahu mengapa. Hatiku kosong. Tak ada rasa takut, sedih atau apapun. Walaupun aku menangis tapi aku tak merasakan apa apa. Beberapa lama setelah kepergian papa aku berani mengatakan pada mama ketika papa pergi aku sama sekali tidak sedih. Tahu pa mama bilang apa?
"apakah kau sampai segitunya?"