Mohon tunggu...
Jayadi .
Jayadi . Mohon Tunggu... -

Motivator Untuk Diri Sendiri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kepergian Adik Ku Karena Aku

26 Februari 2012   16:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   09:02 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam itu hujan mengguyur kota Bandung dengan derasnya. Gemercik suaranya seperti nyanyian rindu langit pada bumi, lembut membelai, menghanyutkan harapan sang kekasih untuk meniti malam.

Di sela waktu istirahat perjalanan touring dari Jogjakarta menuju Bandung, aku dan tim sempat beberapa kali menginap di hotel. Di hotel kota terakhir tujuan touring, Bandung, di Aston Primera Pasteur, aku menghabiskan tiga per empat malam dengan berbincang berdua di sebuah restoran di sudut ruang megah dengan aksen kayu dan aluminium. Sebuah paduan sempurna manakala temaram lampu hias yang memancarkan cahaya keemasan seolah berusaha menerangi sudut ruang.

Dua cangkir kopi, seporsi chicken wings dan segelas strawberry milkshake, menemani perbincangan ku dengan teman yang baru setahun aku kenal, Erica, namanya.

Perbincangan tentang hidup, sungguh nikmat untuk dibagi. Hingga suatu titik saat hari berada di batas abu-abu antara malam dan pagi, aku menanyakan tentang berapa saudara yang dia miliki. “Aku anak ke dua dari tiga bersaudara, dua perempuan dan satu laki-laki,” jawabnya lembut.

“Tapi adik terakhir ku yang laki, Rengga, sudah pergi untuk selamanya, bang,” ucapnya dengan suara parau.

“Innalillahi.. kenapa?” tanya ku.

“Dia terjatuh dari atap rumah tetangga ku saat main layang-layang,” jawabnya dengan suara semakin berat.

Aku merasakan kesedihan mendalam di hatinya. Dan aku bisa menyaksikan jelas duka itu dari matanya. Dengan sedikit senyuman dari bibir tipisnya, dia berusaha menyembunyikan kesedihan itu dari ku.

Tapi dia tak bisa membohongi dirinya sendiri, sudut mata yang mulai berkaca-kaca tak mungkin berdusta.

Dengan berat hati aku coba bertanya apa yang sebenarnya terjadi dengan adiknya, Rengga. Walau dalam hati ku sesungguhnya ingin mengalihkan pembicaraan agar dia tak terbenam oleh kesedihan masa lalunya. Tapi sayang, kalimat tanya itu sudah terucap.

“Semua itu salah ku,” ucapnya lemah.

“Salah mu? Memang kenapa?” balas ku bertanya.

Dengan setengah menahan tangis, dia menceritakan kisah memilukan itu. Kata demi kata terangkum menjadi sebuah cerita pedih yang membuatnya menyalahkan dirinya sendiri sebagai penyebab kepergian Rengga untuk selamanya. Bahkan hingga saat ini, dia masih menyalahkan dirinya.

Beberapa hari sebelum kejadian itu, Rengga meminta dirinya untuk tak pergi. Rengga berharap dirinya bisa menemaninya di malam pesta ulang tahunya.

“Saat itu aku mau pergi kerja. Sebagai mahasiswi S2 yang sambil bekerja adalah sebuah kenikmatan karena bisa mendapatkan uang dari jerih payah sendiri.”

“Beberapa hari sebelum peristiwa memilukan itu, Rengga meminta ku untuk ada dan menemaninya di malam pesta ulang tahunnya. Tapi aku tak bisa memenuhi permintaannya. Sebelum aku pergi di hari itu, di rumah hanya ada aku dan Ega (sapaan Rengga). Karena aku sedang menikmati pekerjaan baru ku, aku terpaksa meninggalkannya sendiri.”

Saat dia meninggalkan Rengga sendiri, tak sedikit pun terbesit di pikirannya akan terjadi hal buruk. Bahkan saat dia sedang bekerja sekali-pun, semua berjalan baik.

“Tiba-tiba aku menerima telpon dari kakak ku dan berkata kalau adik ku terjatuh dari atap rumah tetangga saat main layang-layang.”

Bagai tersambar petir, sekelilingnya seperti lenyap, pikirannya hanya ada adik tercintanya.

“Aku langsung meninggalkan pekerjaanku. Dengan mengumpulkan segenap kekuatan aku langusung pergi ke rumah sakit tempat adik ku dirawat.”

Hatinya begitu sakit saat tiba di rumah sakit ternyata Rengga sudah dalam kondisi koma.

“Saat aku tiba di rumah sakit, Rengga sudah koma. Kakak ku menceritakan kondisi terakhir Rengga sebelum dibawa ke rumah sakit. Dia mengerang menahan sakit di kepala bagian kanannya. Aku tak tahan mendengarnya. Dan aku tau itu, dia pasti sangat kesakitan, walau tak ada tampak luka di luar kepalanya.”

Rengga mengalami luka dalam di kepala akibat benturan saat terjatuh. Klinik terdekat menyarankan agar adiknya dibawa ke rumah sakit besar untuk diperiksa luka dalam di kepalanya.

Para pekerja medis di Instalasi Gawat Darurat bekerja cepat. Sambil berusaha menahan ronta tubuh mungil Rengga yang menahan sakit, para pekerja medis berusaha untuk memberikan pertolongan secepat dan sebaik mungkin.

Rasa sakit yang teramat sangat, rupanya membuat Rengga tak bisa menahan sadarnya lebih lama. Saat itu juga Rengga dinyatakan koma. Beberapa hari di masa koma nya, kondisi Rengga dinyatakan kritis hingga detak jantungnya terhenti.

Lebih dari 10 menit, Rengga terbaring di atas ranjang rumah sakit tanpa detak jantung. Tim dokter terus berusaha menolongnya dengan melakukan resuistasi dengan memberikan kejutan listrik pada dada Rengga. Dokter sesungguhnya tak mau memaksakan menggunakan mesin kejut pemicu jantung itu mengingat usia Rengga yang masih kecil, namun karena keluarga memaksa, dokter pun terus melakukannya. Dan berkat usaha keras dokter dan doa keluarga, jantung Rengga kembali berdetak namun tetap dalam kondisi koma.

Beberapa hari berselang, kondisi Rengga dinyatakan mulai membaik hingga tim dokter pun berani mengambil keputusan untuk melakukan operasi kepala Rengga.

Operasi sudah dilakukan namun Rengga masih saja berada dalam kondisi koma. Bahkan beberapa kali kondisinya dinyatakan kembali kritis.

Dua bulan berlalu. Tubuh mungil itu terbaring di atas ranjang rumah sakit dengan selang dan kabel di sekujur tubuhnya yang membantunya bertahan hidup.

Segala upaya dilakukan orang tuanya agar sang adik bisa kembali pulih seutuhnya. Biaya yang tak sedikit, membuat orang tuanya harus menjual beberapa barang berharga, termasuk menggadaikan mobilnya.

“Selama itu, aku tak bisa berbuat apa-apa kecuali menyalahkan diri ku sendiri.”

Hampir habis harta terjual, namun kondisi Rengga tak juga ada perubahan. Selama masa perawatan Rengga, dia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menyendiri di dalam kamar dan sesekali mengunjungi Rengga, memandang penuh harap ke wajah mungil yang terbaring itu.

Andai waktu bisa diputar, mungkin dia akan memutarnya ke masa itu agar dia tak meninggalkan adik tercintanya sendiri.

“Setelah dua bulan berlalu, kondisi adik ku dinyatakan banyak mengalami kemajuan untuk sembuh. Tapi di masa dia dinyatakan mengalami kemajuan, tiba-tiba kondisinya drop dan kembali kritis hingga akhirnya nyawa Rengga tak tertolong lagi.”

“Waktu itu apapun akan dilakukan keluarga ku demi kesembuhan adik ku meski kami harus kehilangan rumah kami. Yang penting adikku bisa kembali.”

Tapi Rengga sudah pergi meninggalkan sepenggal cerita indah dalam kehidupannya.

Di usia ke 9 tahun, Rengga meninggalkan keluarga tercinta untuk selamanya.

“Aku tak bisa berhenti menyalahkan diriku sendiri. Bahkan hingga detik ini setelah tiga tahun berlalu, aku masih menyalahkan diriku sendiri. Kepergian adik ku karena aku,” sesalnya.

Aku tak sanggup untuk terus mendengarkan ceritanya. Tapi aku tak punya kalimat untuk mengalihakan pembicaran. Aku hanya tertegun haru sambil menahan sedih. Aku tak mampu menatap matanya yang berkaca-kaca…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun