1 Desember diperingati sebagai hari AIDS sedunia, seperti tahun-tahun sebelumnya, tujuan memperingati hari AIDS menyadarkan masyarakat dunia akan wabah penyakit AIDS yang disebabkan oleh virus HIV. Penyakit ini pertama kali muncul pada tahun 1981 dari benua Afrika sehingga menjadi perhatian dunia mulai dari pemerintah, organisasi internasional hingga yayasan amal. Pada 1 desember 1988 kampanye yang dilakukan pertama kali oleh James W. Bunn dan Thomas Netter yang kemudian disepakati oleh AIDS Global (dikenal sebagai UNAIDS) yang menjadi program bersama PBB. Sejak itulah hari AIDS sedunia mengambil alih perencanaan dan program untuk mengentaskan penyakit AIDS dari sisi edukasi, komunikasi, konseling, pencegahan dan kampanye kepada masyarakat diseluruh dunia akan bahaya penyakit AIDS.Â
Di Indonesia kasus HIV/AIDS dari tahun 1987 hingga 30 juni 2016 untuk kasus HIV/AIDS mencapai 291.465 yang terdiri atas 208.909 HIV, 82.556 AIDS dan 14.234 kematian. Dengan data tersebut, Indonesia termasuk yang rawan penyebaran AIDS, sehingga berbagai pihak masih terus menggalakkan berbagai program, termasuk pengendalian dan penyebarannya. Bagi pengidap HIV/AIDS atau biasa disebut ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) salah satu program yang menguntungkan adalah pemerintah memberikan secara obat Antiretroviral (ARV). Banyak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang masih peduli terhadap nasib ODHA dengan mengadakan program pendampingan agar ODHA tetap terkontrol perilakunya, sehingga mampu mengendalikan penyebaran penyakit ini untuk kemudian memperkecil angka kematian. Seringkali stigma dan diskriminasi muncul di masyarakat terkait para ODHA. Seakan menjadi hukuman sosial, mereka selau mendapat perlakuan yang tak wajar dengan penyakit yang mereka derita, seperti pengasingan, penolakan, penghindaran.Â
Stigma dan diskriminasi terhadap ODHA menjadi tantangan tersendiri bagi berbagai pihak termasuk pemerintah, karena dikhawatirkan akan menjadi faktor penghambat upaya penanggulangan HIV dan AIDS. Diskriminasi dan stigmatisasi yang dialami ODHA terjadi ditempat umum seperti unit pelayanan, kesehatan, tempat kerja, hingga lingkungan keluarga menjadikan ODHA sulit diterima. Diskriminasi maupun stigma tidak hanya dilakukan oleh masyarakat awam, namun petugas kesehatan yang biasa menangani para ODHA. Mereka takut bergaul dengan para ODHA dan khawatir akan tertular oleh penyakit yang diderita.Â
Sebagai penderita, umumnya para ODHA menjadi merasa terganggu psikologinya akibat penyakit yang mereka derita, ditambah dengan diskriminasi dan stigma yang mereka dapatkan. Ini menjadi tantangan psikologis bagi para ODHA sehingga mereka semestinya bukan dijauhi, melainkan perlu mendapatkan dukungan, motivasi serta semangat hidup dari orang terdekat termasuk keluarga. Disamping itu bagi para orang terdekat, harus mencari tahu banyak hal mengenai HIV/AIDS, agar pengetahuan itu bermanfaat pada saat sedang bersama ODHA saat berinteraksi dengan mereka. Dengan berusaha mencoba memahami hidup yang dialami oleh pengidap HIV/AIDS, maka akan membantu psikologis yang positif bagi ODHA, sehingga mampu meningkatkan kualitas hidup mereka.Â
Peran serta masyarakat seperti kita ini sangat membantu mereka, bukan akan menjauhi mereka. Memberikan pengertian dan pengetahuan kepada masyarakat agar mau bergaul dan membantu mereka untuk sedikit memberikan kenyamanan bagi mereka. ODHA bukan untuk dijauhi tetapi untuk dirangkul bersama agar kualitas hidup dan psikologis mereka juga tetap baik dan terkontrol akan perilaku mereka, sehingga penyebaran HIV/AIDS nya bisa kita tanggulangi dan menurunkan angka ODHA secara bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H