Mohon tunggu...
Realita Mahanani
Realita Mahanani Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar - S1 Universitas Negeri Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Jangan Biarkan Sekolah menjadi ‘momok’ bagi Anak dan Orang Tua

3 Juni 2014   15:42 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:46 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kasus pelecahan anak di salah  satu sekolah internasional, kasus pembunuhan guru oleh guru lain di hadapan anak-anak didiknya, kasus  bullying antarsiswa, hingga kasus penganiayaan terhadap anak didik oleh gurunya karena hal-hal sepele. Tahun 2014 yang seharusnya dielu-elukan sebagai tahun bangkitnya kembali pendidikan  guna mempersiapkan anak didik menuju AFTA 2015, justru diwarnai serentetan  peristiwa yang mencoreng citra pendidikan Indonesia di mata dunia maupun masyarakatnya sendiri. Parahnya lagi,  kasus-kasus di atas  tersebut justru  didalangi oleh komponen-komponen pendidikan seperti anak didik maupun oknum pendidik dan orang-orang kepercayaan pihak sekolah  yang seharusnya menjadi figur teladan, pelindung dan pengayom bagi anak-anak didik mereka. Tentu saja hal ini menjadi masalah yang serius yang harus dipecahkan oleh pemerintah, khususnya kementerian pendidikan dan kebudayaan. Mengingat sekolah  merupakan  sarana penyampaian pendidikan yang utama bagi anak-anak didik. Apabila tidak ditangani secara serius, sudah barang tentu masyarakat akan kehilangan kepercayaannya dan memilih mendidiknya sendiri daripada dititipkan ke sekolah-sekolah yang sebenarnya memiliki pendidik yang lebih berkompeten. Hal ini tentu saja menciptakan masalah baru bagi pendidikan di ndonesia.

Perlu ada penanganan khusus dengan melibatkan banyak pihak, khususnya pihak sekolah dan pihak orangtua guna mencegah kasus seperti ini  terulang kembali. Kasus-kasus tersebut sebenarnya tidak akan terjadi apabila ada  pendekatan-pendekatan dan komunikasi dua arah  antarpendidik dan orang tua anak didik yang intensif. Dalam kasus bullying antarsiswa, dari segi orang tua anak didik, mereka tidak dibenarkan apabila melepas tanggung jawab mereka dalam  mendidik seratus persen ke sekolah.  Fungsi kontrol dari keluarga harus tetap berlaku. Seperti kita ketahui, peran keluarga menjadi peran terpenting dalam pembentukan karakter anak-anak mereka. Di dalam keluarga, orang tua harus senantiasa menanamkankan  nilai-nilai kepribadian yang luhur dan menampilkan diri sebagai sosok panutan yang dapat ditiru oleh anaknya. Tidak dapat dipungkiri, permasalahan yang terjadi di kelaurga menyumbang peranan besar dalam pembentukan karakter anak yang buruk misalnya anak yang berasal dari keluarga yang tidak harmonis cenderung mengarah pada perilaku-perilaku agresif.

Kasus-kasus seperti bullying antarsiswa maupun antarguru, pelecehan siswa oleh oknum-oknum di lingkungan sekolah, dan penganiayaan siswa oleh gurunya, merupakan bukti lemahnya pengawasan dari pihak sekolah. Setelah terkuaknya kasus-kasus ini, pihak sekolah perlu meningkatkan pengawasan kepada semua warga sekolahnya agar hal serupa tidak terjadi. Sekolah tidak terlepas dari lingkungan masyarakat sekitarnya. Seyogyanya, pihak sekolah perlu melibatkan masyarakat sekitar dalam hal pengawasan. Kasus-kasus seperti pelecehan misalnya, biasanya terjadi pada sekolah-sekolah yang bisa dikatakan ‘esklusif’ sehingga masyarakat sekitar tidak mempunyai ruang untuk ikut mengawasi.

Guru atau tenaga pendidik merupakan komponen terpenting dalam pendidikan. Guru lah yang setiap hari berhadapan dengan anak-anak didik dan bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak didiknya selama di sekolah. Guru harus mengarahkan pendidikan ke arah hakikat pendidikan yang ‘sebenarnya’. Pendidikan merupakan upaya dalam memanusiakan manusia. Dalam kasus tindakan kekerasan guru terhadap anak didiknya, apakah hal ini masih bisa disebut upaya memanusiakan manusia? Tentu saja tidak. Tindakan kekerasan ini biasanya muncul karena anak didik tidak melakukan apa yang diharapkan guru, misalnya saja anak didik yang tidak mengerjakan PR atau tugas. Guru tidak bisa langsung menjudge anak tersebut tergolong anak bodoh, bisa saja anak tidak mengerjakan PR karena dia benar-benar belum paham akan materi yang disampaikan. Bukankah pendidikan itu adalah proses belajar, dimana belum bisa itu menjadi hal yang wajar. Untuk itu, seharusnya pihak sekolah khususnya guru jangan sampai menciptakan suasana belajar yang tidak kondusif dengan tekanan-tekanan yang menuntut anak didik harus melakukan A, B, C. Karena tekanan-tekanan inilah yang sebenarnya membuat sikap siswa cenderung menjadi emosional dan agresif, sehingga pelampiasan kemarahan kepada teman sebayanya tidak dapat dihindarkan. Sedangkan dalam kasus pelecehan maupun pembunuhan guru oleh guru lainnya merupakan pembuktian masih banyak guru yang belum professional dalam bidang pendidikan. Kalau sudah begini, sekolah seharusnya menindak tegas oknum-oknum pendidik yang memang tidak berkompeten dalam hal mendidik ataupun mengajar. Kerja sama dari berbagai pihak, seperti pihak keluarga, pihak masyarakat, dan pihak sekolah merupakan cara efektif agar kasus-kasus tak pantas dalam dunia pendidikan kita ini tak terulang kembali. Sehingga sekolah tidak akan menjadi ‘momok’ bagi anak maupun orang tua.

Oleh : Realita Mahanani

Mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Negeri Yogyakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun