Siang Itu Di Hari Yang Penuh Berkah
Siang itu terik matahari terasa menyengat kulit ari dan panasnya pun menembus hingga ke dalam baju koko sehingga gerah dan panas terasa di seluruh tubuh. Jam tangan menunjukkan pukul 12.25, sungguh hari Jum'at yang barokah, terlihat jamaah sholat Jum'at turun dari masjid, berjalan beriringan, bergerombol, bersepeda menuju tempat tujuan masing-masing untuk melanjutkan aktivitas. Anak-anak pun berlarian, kejar-kejaran, bercanda ria dengan teman sebayanya,
"Mbul, aku pulang duluan", seorang anak berlari kecil mengejar temannya yang meninggalkannya sambil menepuk pundak seorang teman yang bernama Timbul dari belakang yang sedang berjalan bersama ayahnya,
"O ya, siap Cung !" jawab Timbul, sambil memandang temannya berlari.
"Kamu gak ikut teman-temanmu itu Mbul?" tanya sang ayah sambil membetulkan peci Timbul yang miring sewaktu di tepuk temannya tadi.
"Males ah pak, capek" jawab Timbul sambil melepas sarung dan menyilangkannya di pundak.
Angin berhembus sepoi-sepoi saat Timbul dan ayahnya melintasi jalan setapak, jalan yang membelah luasnya hamparan sawah dengan tanaman padi yang mulai menguning, jalan setapak inilah yang menghubungkan kampung tempat dimana Timbul dan ayahnya tinggal dengan kampung tetangga dimana mereka melaksanakan sholat jum'at tadi, ya memang karena di kampung nya belum ada masjid.
"Mbul , , , " sang ayah berkata di tengah perjalanan pulang.
"Ya pak." jawab timbul rendah sambil terus berjalan dan merentangkan tangannya menyentuh daun padi.
"Kamu mendengarkan khotbah di masjid tadi kan ?" tanya sang ayah.
"Iya pak, sedikit." jawab Timbul pendek.
"Lho , , kok sedikit, gimana sih ?" sang ayah bertanya heran sambil memandang Timbul yang berjalan di depannya.
"Lha wong si Kuncung berisik jadi Timbul tidak konsen dengan khotbahnya pak Anwar tadi, hanya dengar sekilas bahwa umat manusia yang di terima di sisi Allah SWT kelak adalah mereka yang sholatnya bagus" jawab timbul berusaha menjelaskan, "Maksud sholat yang bagus itu gimana sih pak ?" sambung Timbul lagi.
"Ya orang yang melaksanakan sholat 5 waktu dengan 'benar', di awal waktu, berjamaah, memenuhi syarat rukun sholat dan juga niat yang benar" jawab sang ayah.
"Jadi orang yang seperti itu pasti di terima di sisi Allah ya pak ? masuk surga dong, , ," kembali Timbul bertanya, kali ini sok tahunya yang lugu keluar dari mulutnya sambil melepas peci dan memasukkan ke saku baju kokonya.
"Sok tahu kamu Cung,” kata sang ayah sambil mengusap kepala Timbul, “kalau sholatnya belum bagus ya mungkin saja Allah akan menundanya" jelas sang ayah.
Sambil memandang sang ayah penuh tanda tanya, "Lho kok jadi gitu, bapak bilang tadi yang sholatnya benar, 5 waktu di awal, trus berjamaah, trus syarat rukunnya terpenuhi juga niatnya benar, kok masih di tunda pak, gimana sih bapak ini, hati-hati lho pak nanti di marahi Allah" kembali sok tahu Timbul muncul lagi.
Sang ayah memandang Timbul penuh rasa kasih dan berkata, “Kan belum tentu bagus, kamu tidak menyimak khotbah sepenuhnya sih, jadi kata pak Anwar tadi,
seseorang yang sholatnya bagus itu dia tidak akan durhaka kepada orang tua,
seseorang yang sholatnya bagus itu dia tidak akan malas mempelajari ilmu, terutama ilmu agama,
seseorang yang sholatnya bagus itu dia tidak akan iri dan dengki,
seseorang yang sholatnya bagus itu dia tidak akan mengabaikan amanah yang dipercayakan kepadanya,
seseorang yang sholatnya bagus itu dia tidak akan mengadu domba,
seseorang yang sholatnya bagus itu dia tidak akan memandang hina orang yang lebih rendah, lebih miskin, kurang terpelajar dari dirinya,
seseorang yang sholatnya bagus itu dia tidak akan merampas hak orang lain,
seseorang yang sholatnya bagus itu dia tidak akan menyakiti orang lain,
seseorang yang sholatnya bagus itu dia tidak akan berani kepada Allah SWT, dann , , , “ Timbul memotong penjelasan ayahnya dengan berkata,
“Stop, stop pak” potong timbul, “jadi bingung Timbul pak, pokoknya yang Timbul tahu, orang yang di terima di sisi Allah SWT adalah ‘MEREKA YANG SHOLATNYA BAGUS’, lagian tidak bagus juga pak kalau lupa rumah sendiri, tuh pak rumah kita.” Sambil menunjuk ke belakang, dia menunjuk sebuah rumah dengan dinding batu bata separo yang dinding atasnya terbuat dari papan, tanaman ketela pohon di kanan kirinya dan pohon duku yang rindang di halaman depan rumahnya.
Sang ayah menepuk jidatnya sambil memutar tubuhnya 90° dan maju melangkahkan kakinya.
Timbul sambil garuk-garuk kepala, “#@%$&?!?”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H