Program penguatan dan pengembangan industri pengolahan bahan pangan menjadi produk setengah jadi maupun produk akhir serta teknologi pengemasannya sangat urgen. Sebab, selain untuk meningkatkan nilai tambah, program ini juga membuat bahan pangan lebih awet (tidak mudah busuk), lebih mudah dan murah untuk ditransportasikan, dan lebih praktis dan mudah untuk dimasak.
Di sisi konsumsi, mulai sekarang juga kita harus melaksanakan diversifikasi dari sumber karbohidrat beras ke non beras, seperti sagu, jagung, tales, umbi-umbian, dan sorgum. Hal ini sangat penting, karena hingga kini Indonesia merupakan bangsa pengkonsumsi beras terbesar di dunia, sekitar 140 kg/orang/tahun. Padahal, rata-rata konsumi beras penduduk dunia hanya sekitar 60 kg/orang/tahun (Kementan, 2011). Karena kelebihan mengkonsumsi beras, Indonesia merupakan bangsa penderita diabetes tertinggi di dunia. Selain itu, menu makan keseharian rakyat Indonesia juga harus beralih dari yang dominan karbohidrat seperti selama ini ke menu makan yang lebih bergizi dan berimbang. Dengan cara memperbesar porsi protein (nabati, hewan, ikan, dan seafood lainnya), sayuran, dan buah-buahan.
Kita juga harus memperkuat dan mengembangkan sistem logistik, transportasi, dan distribusi bahan pangan dari kawasan-kawasan sentra produksi bahan pangan ke daerah-daerah konsumen di seluruh wilayah NKRI. Hal ini sangat penting guna memastikan, bahwa seluruh rakyat mendapatkan akses memadai untuk memperoleh bahan pangan berkualitas dengan harga relatif murah (terjangkau oleh rakyat) dan jumlah mencukupi setiap saat.
Kebijakan politik-ekonomi (seperti moneter, fiskal, kredit perbankan, ekspor-impor, infrastruktur, dan iklim investasi) harus kondusif bagi kinerja sektor pertanian, perikanan, dan pangan. Untuk komoditas (bahan) pangan yang bisa diproduksi di dalam negeri, kita harus stop impor, baik secara bertahap maupun langsung sekarang juga. Sekarang saatnya untuk mendirikan Bank khusus yang melayani sektor pertanian, kelautan dan perikanan, dan pangan. Tingkat suku bunga dan persyaratan pinjam harus semurah dan semudah seperti di negara-negara emerging economies lainnya. Kita juga harus segera menumpas habis para komprador yang sering menimbun bahan pangan, agar harga bahan-bahan pangan melambung, lalu mereka punya dalih untuk menekan pemerintah agar membuka kran impor.
Selain itu, pemerintah harus menjamin pasar untuk seluruh produksi bahan pangan yang dihasilkan oleh para petani, nelayan, dan peternak kita setiap saat, dengan harga sesuai nilai keekonomiannya alias menguntungkan produsen dalam negeri. Andai pun harga jual itu terlalu mahal bagi mayoritas rakyat (konsumen nasional), pemerintah seyogyanya memberikan subsidi bagi para konsumen yang tidak mampu, dengan cara menjual bahan pangan yang lebih murah. Dengan perkataan lain, pemerintah memberikan subsidi ganda (double subsidy) untuk bahan pangan hasil produksi dalam negeri. Hal ini positip bagi perekonomian nasional. Sebab, uang subsidi itu hanya beredar di dalam negeri. Lebih dari itu, petani, nelayan, dan peternak yang sejahtera berkat subsidi ganda ini akan mampu memberikan makan yang bergizi bagi anak-anaknya, menyekolahkan anak-anaknya di sekolah yang berkualitas, dan membeli berbagai produk dari sektor-sektor ekonomi lainnya. Artinya, ini akan membangkitkan multiplier effects (efek pengganda) yang sangat besar dan luas.
Keempat, kita harus merevitalisasi sektor kehutanan. Pasalnya, di negara-negara lain dengan potensi hutan yang jauh lebih kecil dari Indonesia (seperti Finlandia dan Kanada), justru sektor kehutanannya mampu menjadi kontributor utama bagi perekonomian nasionalnya, sekitar 30 persen PDB. Revitalisasi itu berupa compliance (taat azas) terhadap undang-undang tata ruang kehutanan (peta tata guna hutan kesepakatan). Kawasan-kawasan hutan yang menurut peta tata ruang kehutanan telah ditetapkan sebagai hutan lindung haruslah dilindungi. Tidak boleh dialihfungsikan untuk perkebunan, pertambangan, atau kegiatan pembangunan lainnya. Juga tidak boleh ditebang pohonnya. Hutan lindung boleh digunakan untuk kegiatan ekowisata, penelitian, pendidikan, dan kegiatan-kegiatan lain yang tidak merusak lingkungan.
Di kawasan-kawasan yang sudah ditetapkan sebagai hutan produksi, kita harus menebang pohon hutan dan memanfaatkan produk non-kayu (seperti madu, damar, dan bahan-bahan farmasi alamiah) secara optimal dan lestari (sustainable). Untuk itu, prinsip-prinsip konservasi harus diterapkan di dalam memanfaatkan kayu dan sumnber daya hutan lainnya. Contohnya sistem TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia), dimana saat menebang pohon harus yang diameternya lebih besar dari ukuran tertentu (lebih besar dari 25 cm), dan setelah menebang kita harus melakukan penanaman kembali (reboisasi).
Di kawasan-kawasan hutan yang dapat dikonversi, kita dapat memanfaatkannya secara produktif, efisien, ramah lingkungan, dan lestari untuk HTI (Hutan Tanaman Industri), perkebunan, lahan pertanian, dan peruntukan pembangunan lainnya.
Kelima, kita harus segera membangun kedaulatan energi nasional dengan cara melaksanakan program efisiensi penggunaan energi, konservasi energi, pengembangan energi baru dan energi terbarukan (renewable energy), dan memperbesar porsi energi terbarukan serta memperkecil porsi BBM dalam bauran energi nasional.
Indonesia memiliki potensi energi baru dan energi terbarukan yang sangat besar dan beragam, yang sampai sekarang belum dimanfaatkan secara optimal. Sumber energi baru dan energi terbarukan yang terdapat di Indonesia antara lain berupa: panas bumi (geothermal), bioenergi (baik dari tanaman di darat maupun tanaman dan algae dari perairan tawar dan laut), biomasa, energi surya, angin, pasang-surut laut, gelombang laut, OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion), dan gas hidrat. Potensi geothermal Indonesia adalah yang terbesar di dunia, sekitar 40 persen dari total potensi geothermaldunia. Deposit gas hidrat yang terdapat di laut dalam sebelah barat Sumatera dan sebelah selatan Jawa diperkirakan lebih besar dari pada seluruh potensi migas Indonesia (Richardson, 2008).
Pengembangan dan penggunaan energi baru dan terbarukan selain memerlukan sentuhan teknologi canggih, juga mensyaratkan dukukngan kebijakan politik-ekonomi dari pemerintah. Termasuk di dalamnya adalah pemberian subsidi sampai harganya bersaing dengan harga BBM. Kebijakan semacam inilah yang menghantarkan Brazil menjadi produsen sekaligus pengekspor biofuel terbesar di dunia. Padahal, kemampuan teknis memproduksi biofuel antara Indonesia dan Brazil adalah sama. Bahkan, pada awal pengembangannya di awal 1980-an Brazil belajar teknologi produksi bioetanol dari Indonesia, khususnya BPPT.