Tontonan tersebut juga memiliki tema dan standar yang beragam. Dari yang dianggap alay seperti Kekeyi sampai yang berat seperti podcast Deddy Corbuzier. Individu memiliki otonomi untuk memilih tayangan sesuai dengan preferensi mereka. Jika rezim perizinan sampai berdiri, maka lingkup otonomi individu akan berkurang jauh. Their scope of choice would shrink.
Tidak hanya membatasi lingkup pilihan. Model perizinan ini juga berpotensi menimbulkan intervensi pemerintah dalam selera publik. Persis seperti apa yang dilakukan Menteri Penerangan Harmoko ketika melarang lagu cengeng di tahun 1988. Bedanya, kini intervensi selera publik itu tumpang tindih dengan kepentingan proteksionisme bisnis besar.
Justru, jika kita ingin mempromosikan kesetaraan dalam kompetisi, pemerintah wajib melakukan deregulasi kepada industri media. Sehingga tingkat kompetisi dan disrupsi bisa dimaksimumkan demi kepentingan konsumen. Daripada mengurung media tradisional dan digital dalam regulasi yang sama, lebih baik cabut regulasi restriktif bagi media tradisional.
Adanya deregulasi ini akan memberdayakan bisnis media dan para penontonnya. Bisnis-bisnis tersebut memiliki ruang lingkup yang lebih luas untuk berinovasi dan berkooperasi. Lantas, para penonton juga menyaksikan pilihan yang lebih berkualitas dan beragam dari media tradisional. Akhirnya, pamor media tradisional kembali naik di mata konsumen.
Kesimpulannya, argumen nasionalisme dan perlindungan moral dari gugatan RCTI dan iNews ke MK adalah selubung proteksionisme gaya lama. Menggunakan kepentingan publik untuk membungkus kepentingan ekonomi korporasi besar.Â
Dalam menyikapi hal ini, jangan sampai pemerintah jatuh ke jebakan regulasi demi kesetaraan. Justru, seharusnya pemerintah melakukan deregulasi bagi media tradisional agar mereka lebih leluasa dalam menarik pemirsa.
Memplesetkan pernyataan Aidit, kompetisi adalah kunci untuk membela kepentingan umum. Bukan proteksionisme terselubung yang hanya menguntungkan bisnis besar.
REFERENSI