Akan ada apa di minggu ini? Selain Tahun Baru Imlek di hari Sabtu, akan ada premiere sebuah film di hari Kamis. Film ini sudah menjadi seperti institusi yang tertanam di benak kita semua. Apa film tersebut? Ia adalah Akhir Kisah Cinta Si Doel atau Si Doel The Movie 3. Pembaca pasti pernah melihat posternya di media sosial atau secara offline.Â
Dengan tayangnya film ini, berakhir sudah kisah cinta segitiga yang berlangsung sejak 1993. Sebuah kisah cinta yang rumit antara Doel, Sarah, dan Zaenab. Ternyata, keberadaan media sosial menimbulkan polarisasi atas sikap khalayak mengenai akhir kisah cinta ini. Para pendukung Sarah mengelompok menjadi #timsarah. Sementara, para pendukung Zaenab berasosiasi menjadi #timzaenab. Masing-masing ingin junjungannya dipilih oleh Doel.
Namun, ada satu kelompok lagi yang berdiri sendiri. Kelompok ini tidak terlibat dalam triumvirat yang menjadi inti cerita legendaris ini. Justru, kelompok ini disatukan oleh rasa iba sekaligus admiration terhadap satu sosok. Siapakah sosok itu? Beliau adalah Mandra. Anak dari Kong Ali, adik dari Maknyak Lela, serta paman dari Kasdoelah dan Zaitun. Tak heran mereka menamai kelompoknya sebagai #timmandra.
Karakter ini terkenal akan kemalasan, temperamen, dan naturnya yang konfrontatif. Selain itu, Beliau adalah pusat komedi dari cerita ini. Semakin nyap-nyap mulutnya, semakin kencang penonton tertawa. Aksen Betawi Ora nya yang kental membuatnya semakin jenaka. Dengan kata lain, Mandra adalah badut yang menghibur penonton dalam cerita ini.
Akan tetapi, Mandra bukan badut lucu seperti Barney. Ia cenderung mirip seperti Joker. Sosok yang aslinya baik, namun keadaan mengubahnya menjadi hal lain. Tetapi, kalau Joker berubah menjadi penjahat, Mandra justru berubah menjadi pelawak yang unintentional. Ketika Beliau marah, tidak terselip niat untuk melucu. Namun, khalayak justru tertawa melihat ungkapan rasa marah tersebut.
Coba perhatikan. Meski hasilnya berbeda, Joker dan Mandra sama-sama ditekan oleh keadaan. Baik keadaan internal maupun eksternal. Lantas, keadaan-keadaan inilah yang membuat penulis iba dengan sosok satu ini. Apa saja keadaan-keadaan tersebut?
Pertama, statusnya masih single. "Lagian lu (Rano Karno) sudah tua gini masih cinta-cintaan saja, gua enggak kebagian terus," tandasnya pada suatu kesempatan (Kompas.com, 2020). Dalam cerita, kisah cinta Mandra selalu kandas. Asmaranya dengan Nunung alias Nyunyun berakhir waktu Nunung pulang kampung. Modusnya pada Ambar sang penyanyi dangdut gagal sejak awal. Sementara, Lala si tetangga remaja depan rumah justru di-friendzone oleh Kong Ali, Babenya sendiri.
Apalagi kisah cintanya dengan Munaroh. Inilah yang paling ngenes. Keduanya saling cinta dan sudah berpacaran diam-diam (backstreet) sejak lama. Selanjutnya, manipulasi Mandra (mengaku jabatannya naik menjadi "asisten insinyur") berhasil meluluhkan hati Pak Daim, ayah Munaroh. Sebuah lamaran pun direncanakan. Namun, apa boleh buat, Kong Ali melamar pujaan hatinya, Rodiah pada hari yang sama. Mandra pun kudu ngalah ama Babenya. Lantas, kegagalan ini membuat Munaroh harus menikah dengan Cecep, pria pilihan orangtuanya.
Singkat cerita, Munaroh tidak bahagia dengan Cecep. Mandra pun berusaha untuk mendapatkan hati Munaroh kembali. Apadaya, manipulasi Mandra untuk berbicara intelek seperti si Doel gagal membuat Munaroh jatuh cinta lagi. "Ya udah lah Bang, hubungan kita memang udah berakhir, selamat tinggal Bang," Munaroh pergi, diikuti dengan meledaknya tangis Mandra.
Kedua, nasib tokoh satu ini selalu sial. Upayanya mendapatkan pasangan selalu gagal. Belum lagi penghidupan yang masih bergantung pada keluarga Doel yang pas-pasan. Sehingga, sebagai pria dewasa, Mandra belum memeroleh independensi secara personal dan finansial. Inilah yang membuat Beliau merasa selalu berada di bagian bawah roda kehidupan. Akibtanya, muncul sebuah envy mentality yang tidak patut ditiru.
Dialog berikut ini adalah rangkuman yang sangat bagus dari mentalitas ini:
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!