Ketiga program ini ditargetkan kepada masyarakat menengah ke bawah dan terpinggirkan. Dengan mempercepat pencairan ini, pemerintah tidak saja melaksanakan rasionalitas makroekonomi. Ia juga ikut menunjukkan kepedulian pemerintah terhadap masyarakat menengah ke bawah.
Kepedulian ini didasari pada sebuah premis bahwa, "Makin banyak dan cepat bantuan pemerintah keluar, makin besar pula kemakmuran rakyat yang menerimanya." Nah, di sinilah perdebatan dimulai.
Perdebatan apa itu? Perdebatan tersebut adalah mengenai efektivitas bansos dalam membantu masyarakat menengah ke bawah. Dari perdebatan ini, muncul dua pendapat yang berbeda. Perbedaan ini cukup hebat dan menimbulkan diskursus yang dinamis.
Pendapat pertama menyatakan bahwa bansos membantu masyarakat menengah ke bawah. Bantuan tersebut terjadi karena masyarakat menerima social safety net dari bansos. Sehingga, mereka memiliki penghasilan yang sebelumnya tidak mereka miliki.
Dampaknya, masyarakat menengah ke bawah mengalami peningkatan daya beli dan standar hidup yang layak. Singkatnya, bansos memberikan safety net dan income supplement yang membantu masyarakat menengah ke bawah. Inilah yang membuat banyak negara-negara barat membangun welfare state pasca-Perang Dunia 2.
Sementara, pendapat kedua menyatakan sebaliknya. Bansos tidak membantu masyarakat menengah ke bawah. Justru, adanya bansos mematikan inisiatif dan kemandirian masyarakat menengah ke bawah.
Lebih jauh lagi, penganut pandangan ini menganggap skema bansos patronizing dan menggerogoti mobilitas ekonomi masyarakat menengah ke bawah. Bahkan, seorang Lee Kuan Yew secara eksplisit menyatakan demikian:
Through Hong Kong watching, I concluded that state welfare and subsidies blunted the individual's drive to succeed. I watched with amazement the ease with which Hong Kong workers adjusted their salaries upwards in boom times and downwards in recessions. I resolved to reverse course on the welfare policies which my party had inherited or copied from British Labour Party policies.Â
Dampaknya, keberadaan bansos menghalangi pembentukan perekonomian yang kompetitif, dinamis, dan adaptif terhadap kondisi global. Padahal, inilah kunci kesuksesan dari berbagai miracle economies seperti Hongkong, Korea Selatan, Taiwan, dan lain sebagainya.
Menurut para penganut pandangan kedua, filantropi jauh lebih efisien dalam menolong masyarakat menengah ke bawah. Mengapa? Sebab dalam filantropi, manusia memberikan uangnya sendiri untuk orang lain.
Sementara, bansos adalah sebuah situasi di mana pemerintah membelanjakan uang orang lain untuk orang lain. Berikut adalah ilustrasi yang diberikan Milton Friedman (dalam actioneconomics.com.au, 2016).