Empat hari yang lalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah menetapkan presiden dan wakil presiden Republik Indonesia tahun 2019-2024. KPU menetapkan pasangan nomor urut 01, petahana Joko Widodo-Ma'ruf Amin sebagai pemimpin kita sampai tahun 2024. Petahana meraup 55,5% dari popular vote, selisih 11% dari perolehan suara Prabowo Subianto-Sandiaga Uno (KPU dalam detik.com, 2019).Â
Selisih ini menunjukkan mandat yang jauh lebih besar dibanding Pemilu 2014. Pada pemilu itu, Presiden Jokowi terpilih dengan 53,15% dari popular vote. Selisih suara Jokowi-Prabowo hanya 6,3% (Maharani dalam nasional.kompas.com, 2014). Meskipun belum mencapai landslide victory, Presiden Jokowi berhasil meningkatkan mayoritasnya secara signifikan.Â
Mayoritas yang meningkat ini adalah potensi politik yang sangat besar. Presiden Jokowi memiliki mandat yang lebih kuat untuk menorehkan kepemimpinannya bagi bangsa kita. Setiap presiden memiliki torehan kepemimpinan yang berbeda, sesuai dengan masanya. Lantas, kepemimpinan apa yang semestinya ditorehkan Presiden Jokowi pada masa ini?Â
Menurut hemat penulis, Presiden Jokowi harus menorehkan sebuah disruptive leadership yang menjaga momentum reformasi. Mengapa? Sebab inilah yang diekspresikan mayoritas rakyat Indonesia dalam pemilu kemarin. Rakyat ingin melanjutkan perubahan yang terjadi selama lima tahun terakhir. Perubahan itu sudah dirasakan manfaatnya oleh rakyat dan mereka ingin melanjutkannya.Â
Transformasi lima tahun terakhir adalah sebuah ongoing business. Ibarat sebuah kendaraan bermotor, Indonesia sudah mencapai redline di gigi tiga. Sudah waktunya untuk pindah ke gigi empat. Kalau tidak, bangsa kita akan kehilangan momentum untuk menambah kecepatan perubahan. Disruptive leadership inilah yang diperlukan untuk memindahkan gigi tersebut. Apa itu disruptive leadership?Â
Disruptive leadership adalah model kepemimpinan yang selalu mencari solusi yang lebih efisien, memperbaiki kecacatan dalam sistem, dan tidak takut mengguncang khalayak untuk mendapatkan hasil yang diharapkan (leader-values.com, 2017). Artinya, model kepemimpinan ini bersifat reformatif dan mendorong perubahan menuju subjek yang dipimpinnya.Â
Sejak tahun 2012, sosok Joko Widodo sudah merepresentasikan model tersebut. Siapa yang menyangka kalau Beliau bisa terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta? Setelah terpilih, Beliau langsung melaksanakan perubahan dalam birokrasi Provinsi DKI Jakarta. Change-making ini menjadi modal Beliau untuk terpilih menjadi Presiden RI pada tahun 2014.Â
Setelah terpilih menjadi presiden, Beliau melaksanakan perubahan yang lebih dahsyat. Berbagai pembangunan infrastruktur dikebut in an unprecedented rate. Hak kepemilikan properti diperkuat dengan pemberian sertifikat tanah kepada rakyat banyak. Bisnis kecil dan menengah diringankan dengan tarif PPh Badan 0,5%.  Investor juga dimudahkan dengan layanan izin investasi tiga jam.Â
Lagi-lagi, change-making dan kemampuan membangun menjadi modal Beliau untuk terpilih kembali dalam Pemilu 2019. Selain itu, 9 Program Aksi Presiden Jokowi untuk 2019-2014 juga penuh dengan kata-kata seperti 'reformasi', 'revitalisasi', bahkan 'restorasi'. Tetapi, program aksi ini percuma kalau hanya tertulis di atas kertas.Â
Presiden Jokowi harus berani melaksanakan program aksinya, dalam rangka memperluas disrupsi dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat. Memperluas disrupsi sama saja dengan menciptakan tornado yang pasti 'mengacak-acak' the old corrupted order. Pihak-pihak tersebut pasti berupaya untuk mengerem laju disrupsi dan menghentikannya. Sehingga, agenda pemerintah tidak terwujud.Â
Lantas, apa yang harus dilakukan? Pertama-tama, sikat habis the old corrupted order. Wajibkan semua pejabat pemerintah untuk memnbuktikan kekayaannya secara terbuka kepada masyarakat. Copot semua pejabat yang terbukti memiliki kekayaan di luar kewajaran. Sehingga, para dedengkot dari orde korup ini bisa segera dikeluarkan dari birokrasi pemerintahan.Â