Pada 15 Agustus 2019, Kabupaten Bekasi akan merayakan ulang tahunnya yang ke 69. Tak terasa, kabupaten yang kita cintai ini sudah hampir berumur tujuh dekade. Selama kurun waktu ini, Kabupaten Bekasi mengalami transformasi yang cukup mencengangkan. Sebuah transformasi yang membentuk kabupaten kita menjadi salah satu pusat industri di Indonesia.
Bagaimana proses industrialisasi Kabupaten Bekasi? Pada tahun 1974, pemerintah menelurkan kebijakan perencanaan Jabodetabek. Dalam rencana ini, Kabupaten Bekasi dicanangkan menjadi sebuah pusat industri penyangga DKI Jakarta (jabarprov.id, 2018). Namun, pelaksanaannya baru dimulai pada tahun 1989 dengan pembangunan Kawasan Industri Jababeka Tahap I seluas 500 hektar (Muhammad dalam republika.co.id, 2017).
Tiga dekade kemudian, Kabupaten Bekasi memiliki tujuh kawasan industri. Ketujuh kawasan ini menampung 2.125 unit pabrik dari 25 negara. Kini, Kabupaten Bekasi menyumbang 34,46% dari penanaman modal asing (PMA) di Indonesia (finance.detik.com, 2017).
Seharusnya, potensi ekonomi ini dapat dimanfaatkan untuk membangun seluruh wilayah Kabupaten Bekasi. Tetapi, pengamatan penulis sebagai warga Kabupaten Bekasi berlawanan dengan ideal ini. Pembangunan justru terpusat di wilayah Cikarang, di mana mayoritas tujuh kawasan industri itu berada.
Sementara, pembangunan di wilayah seperti Babelan, Tarumajaya, Muara Gembong, dan wilayah pinggiran lainnya masih cukup tertinggal. Akses transportasi menuju wilayah-wilayah tersebut masih belum memadai. Fasilitas publik juga tidak selengkap pusat industri seperti Cikarang. Akibatnya, terjadi ketimpangan pembangunan antara wilayah pusat dengan wilayah pinggiran.
Belum memadainya akses transportasi dibuktikan dengan jalan raya yang hancur. Akses utama seperti Jalan Raya Babelan tak kunjung diperbaiki sampai sekarang (Febryan dalam nasional.republika.co.id, 2019). Selain itu, Jalan Raya Kali CBL sebagai akses utama menuju Tarumajaya juga rusak parah. Kondisinya miring, retak, dan sangat berlubang.
Sementara, ketersediaan fasilitas publik yang timpang dibuktikan dengan ketiadaan sarana olahraga pada tiga kecamatan di Kabupaten Bekasi (gobekasi.pojoksatu.id, 2018). Dalam sektor pelayanan publik, kecamatan seperti Babelan belum mampu memberikan pelayanan publik yang efisien (Wijayakusuma dalam news.okezone.com, 2018).
Lantas, apa penyebab masalah ini? Ketimpangan pembangunan ini terjadi karena tiga faktor Pertama, orientasi pembangunan yang belum dilaksanakan di lapangan. Kedua, reformasi birokrasi yang masih minim di lapangan. Ketiga, pemerintah kabupaten yang kurang sigap terhadap kebutuhan rakyatnya.
Mari kita uraikan masing-masing penyebabnya. Orientasi pembangunan Kabupaten Bekasi sendiri sudah benar, yaitu "membangun desa dari pinggiran". Ini sesuai dengan visi Nawacita Presiden Jokowi (Ghazali dalam jp-news.id, 2019). Sayangnya, bukti-bukti di atas menunjukkan bahwa orientasi ini terhenti pada sloganisme semata.
Mengapa bisa demikian? Sebab mentalitas para birokrat di Kabupaten Bekasi masih belum direformasi. Mayoritas birokrat dalam pemerintahan di Kabupaten Bekasi masih menganut mentalitas lama. Sebuah mentalitas di mana pegawai pemerintah, PNS maupun honorer bertanggung jawab pada atasan, bukan kepada masyarakat secara langsung.
Secara otomatis, birokrasi yang tidak akuntabel melahirkan sebuah pemerintahan yang tidak responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Penyebab ini tercermin dalam laman LAPOR! Kabupaten Bekasi. Semua laporan yang diberikan masyarakat belum diproses lebih dari lima hari kemudian. Tandanya, disposisi dari platform LAPOR! dibiarkan begitu saja.