Hidup ini adalah sebuah peperangan. Peperangan yang tiada akhir sampai dengan akhir zaman. Tentu saja, perang ini bukan perang fisik seperti Perang Dunia Kedua. Perang ini adalah sebuah perang yang berawal dari alam abstrak. Perang itu dinamakan Perang Ide, atau The Battle of Ideas.
Banyak orang menyangka bahwa Perang Ide ini berakhir seiring berakhirnya Perang Dingin. After all, Uni Soviet dan Blok Timur yang merepresentasikan ideologi Komunisme bubar pada kurun waktu 1989-1991. Diawali dengan runtuhnya Tembok Berlin pada 9 November 1989, hingga puncaknya ketika Uni Soviet bubar pada 25 Desember 1991.
Setelah Perang Dingin berakhir, banyak dari kita beranggapan bahwa Amerika Serikat dan Blok Barat yang merepresentasikan Kapitalisme Liberal sudah memenangkan Perang Ide. Bahkan, banyak negara bekas anggota Blok Timur masuk ke dalam Uni Eropa di tahun 90an. Indikasi ini makin menguatkan mindset banyak orang bahwa Perang Ide sudah berakhir.
Tetapi, penulis berpendapat bahwa premis ini salah. Perang Ide belum berakhir; justru Perang Ide semakin intens semenjak Perang Dingin berakhir. Mengapa? Sama seperti sektor-sektor lain dalam kehidupan manusia, pasar ide juga mengalami arus disrupsi yang semakin kencang semenjak Perang Dingin berakhir.
Mengapa arus disrupsi semakin kencang? Sebab semakin banyak negara di dunia yang mengadopsi ide pasar bebas dan demokrasi yang dimiliki oleh Blok Barat alias The Free World. Indonesia pun termasuk negara yang melakukan adopsi ini. Mulai dari diizinkannya televisi swasta di Indonesia pada tahun 1989, sampai privatisasi perusahaan BUMN pada tahun 1991.
Ketika ide pasar bebas dan demokrasi mulai bercokol di suatu negara, maka semakin banyak persaingan dalam berbagai sektor kehidupan, termasuk dalam pasar ide. Persaingan inilah yang memunculkan disruption dalam Perang Ide di suatu negara. Ditambah dengan semakin derasnya globalisasi karena persaingan, membuat disrupsi Perang Ide terjadi di seluruh dunia.
Disrupsi ini mengubah konsep Perang Ide dari perang antar ideologi besar yang dogmatis menuju perang antar aktualisasi pemikiran secara individual. Memang, aktualisasi pemikiran tersebut masih berdasar pada ideologi yang dianut oleh individu. Namun, disrupsi ini mengubah fokus Perang Ide menuju buahnya, bukan akar ideologisnya.
Mari kita ambil contoh dari ide sistem perpajakan. Meski kini hanya segelintir kecil orang yang mau kembali ke era pajak tinggi seperti tahun 1945-1979, namun masih ada pihak yang memiliki ide untuk membuat sistem perpajakan lebih progresif. Orang-orang ini ingin menekankan fungsi sistem perpajakan sebagai instrumen redistribusi pendapatan.
Namun, ada juga orang-orang yang berpikiran bahwa sistem perpajakan yang ada terlalu kompleks. Justru, tarif pajak yang berlaku harus dipotong, serta beralih menuju pajak proporsional alias flat tax. Pencetus ide ini memiliki penekanan yang sama terhadap fungsi sistem perpajakan sebagai instrumen pembiayaan kegiatan pemerintah.
Maka dari itu, muncul ide-ide seperti progressive taxation, flat income tax, X-Tax, consumption tax, dan lain sebagainya. Masing-masing ide ini (dan pencetusnya) sama-sama berperang untuk memengaruhi pemerintahan di berbagai negara dunia. Apalagi di era globalisasi seperti saat ini, di mana transfer ide antar negara semakin dipermudah dengan perkembangan teknologi komunikasi.
Tetapi, perkembangan teknologi informasi ini percuma jika tidak ada suatu medium yang mengabadikan ide tersebut. Ide tersebut diabadikan agar dapat diketahui oleh banyak orang di seluruh dunia dalam kurun waktu lama. Apa nama medium tersebut? Tulisan, itulah nama medium tersebut.