Apakah Anda pernah mendengar istilah Universal Basic Income (UBI)? Pada era Revolusi Industri 4.0 di mana penggunaan robot dan artificial intelligence (AI) meningkat drastis, kebijakan ini menjadi populer di seluruh dunia. Mengapa? Sebab kedua penggunaan ini menggantikan tenaga manusia. Sehingga, muncul penganggur struktural dalam perekonomian yang membutuhkan basic safety net untuk bertahan hidup.Â
Disinilah UBI mengambil peran.Memang, apa definisi Universal Basic Income? UBI adalah sebuah ide di mana negara harus memberikan transfer payment dalam bentuk sejumlah uang secara reguler tanpa memandang status sosial, pekerjaan, posisi keluarga, ataupun berbagai faktor diskriminan lainnya (Lehto, 2018:1). Definisi ini menunjukkan bahwa UBI adalah basic safety net yang menjamin standar hidup minimum seluruh anggota masyarakat.
Maka dari itu, basic safety net ini memiliki banyak manfaat bagi masyarakat. Berikut adalah manfaat-manfaat tersebut (Yang2020.com, 2018):
A.Mendorong penduduk untuk mencari pekerjaan.
B.Mengurangi birokrasi.
C.Meingkatkan daya tawar dari pekerja dalam hubungan kerja.
D.Mendorong kewirausahaan.
E.Meningkatkan kesehatan fisik dan mental para penerima.
F.Mendorong penduduk untuk membuat keputusan yang cerdas secara ekonomi.
G.Mendorong penduduk untuk terlibat dalam bidang seni, kerja sosial, dan merawat anggota keluarganya.
H.Mendorong keharmonisan dalam keluarga.
Manfaat-manfaar di atas muncul karena UBI memberikan jaminan pendapatan bagi setiap penduduk berusia produktif. Sehingga, kepastian finansial penduduk sebagai penduduk juga ikut meningkat.Â
Akhirnya, standar hidup serta situasi perekonomian masyarakat pun semakin maju seiring dengan penerapan UBI.
Tentu saja, ini sangat sesuai dengan mandat sila kelima Pancasila yang berbunyi, "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia." Sebab keadilan sosial berarti setiap manusia Indonesia tidak akan hidup melarat dan sengsara di bawah standar kemiskinan.
Tetapi, ada satu constraint yang menghalangi penerapan UBI di Indonesia; biaya. Jika UBI diterapkan di Indonesia, pemerintah perlu mengalokasikan 669,84 triliun rupiah setiap tahunnya melalui APBN. Pengeluaran ini baru memperhitungkan UBI untuk 27,77 juta penduduk miskin di Indonesia, dengan nilai UBI 2,01 juta rupiah per bulan (Bareksa.com, 2017).
Jika UBI diterapkan untuk 200,7 juta penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas di tahun 2019 (Databoks.katadata.co.id, 2019), maka pemerintah perlu menganggarkan 4.841,61 triliun rupiah setiap tahunnya melalui APBN. Angka yang sungguh fantastis, bahkan lebih besar dari PDB Indonesia di kuartal ketiga 2018 sebesar Rp 3.835,6 triliun (Bps.go.id, 2018)
Bayangkan saja, penerimaan negara dalam APBN 2019 "hanya" Rp 2.165,1 Triliun. Sementara, pengeluaran negara dalam APBN 2019 sebesar Rp 2.461,1 Triliun. Selain itu, tax ratio kita hanya 12,2% dari PDB, masih di bawah standard reserve IMF pada tingkat 15% (Kemenkeu.go.id, 2019). Memaksakan model ideal UBI dalam situasi seperti ini adalah tindakan bunuh diri yang konyol.
Jangankan model ideal UBI. Memberikan UBI untuk 27,77 juta penduduk miskin saja sudah menambah beban keuangan negara sebesar 27,22 persen. Meski memiliki banyak manfaat bagi perekonomian, namun penerapan UBI sekarang juga dapat membuat APBN kita "sakit". Jika keuangan negara "sakit", maka perekonomian kita juga "sakit".
Sehingga, jika kita ingin menerapkan UBI sebagai aktualisasi mandat ideologi negara kita, maka kita perlu meningkatkan penerimaan pajak kita. Bagaimana caranya? Tax ratio kita harus ditingkatkan dengan berbagai upaya reformasi ekonomi secara umum, dan reformasi perpajakan secara khusus.
Terdapat empat upaya reformasi perpajakan paling viable yang dapat dilakukan untuk meningkatkan tax ratio, yaitu: