Tak seseram, tak sebrutal judulnya namun ini masalah hati yang terlanjur tersakiti.
Padam, tak senafas dengan panorama yang tertera saat ini. Cahaya menguning menghidangkan sejuta keromantisan terlihat sangat nyata. Ribuan pasangan mengabadikannya dengan selfi asyik. Sedangkan diri masih terbungkam di pinggiran pantai, terperangkap oleh titik – titik luka sebulan lalu. Ampun! Mungkin aku perempuan terdungu, masih memberi cinta buat Dama. Timbunan kebohongan telah dia lempar, entah kenapa tak mampu melengserkan rasa sayang ini, aku pun tetap setia. Bukan itu saja, ketika dia memutuskan dengan yang lain aku belum bisa mengubah statusnya di hatiku. Bodoh! Bodoh! Tapi aku tak mampu menghapus rasa ini, cinta ini. Perlahan langit mulai gelap, aku masih terpaku bersama pasir – pasir pantai. Tak peduli angin mulai ganas, mulai dingin, mengeluarkan sebatang rokok mungkin sedikit menghangatkan.
“Ngrokok lagi???” Bukan bertanya tapi berseru, nadanya keras hingga aku gagal menikmati tembakau penghilang galau. Dasar Ali! Adik yang tak mau mengerti kakaknya.
“Heh...anak kecil dilarang melarang!” Balasan yang cukup kejam dibarengi mata sedikit melotot. Berdiri dan meninggalkan Ali, aku berjalan dengan sebatang rokok yang menguasai mulut.
Aku tahu Ali mengejar, namun aku tak mau dengar soal apa – apa lagi. Aku hanya ingin merokok sendiri, menikmati asap – asapnya. Mungkin caraku kurang benar, tapi aku merasa lebih baik setelah melakoni ritual itu.
“Gue harap lo nggak ngrokok semalaman, saat tahu Dama juga liburan di mari. Dia sehotel sama kita,” tiba – tiba kalimat yang terlahir dari Ali menghentikan langkahku. Mataku terpaku padanya, kujatuhkan puntung rokok yang masih separo. Alipun menginjakknya. Entah kenapa? Entah perasaan apa ini? Air mata tiba – tiba datang meramaikan. Aku tak kuat jika harus melihatnya memeluk wanita lain. “Dama nggak pantes nerima air mata lo. Stop! Sadar! Tolong hargai pengorbanan gue. Gue rela nguras tabungan buat ngajak lo liburan di mari. Tapi hasilnya?” seru Ali dengan menempatkan tangannya di pipiku, mungkin dia berniat menghapus air mataku. Tak ada kata yang tersampai, aku hanya bisa mencurahkan semuanya dengan memeluk Ali. Memeluknya seerat mungkin, tak bejarak dan tanpa celah. Aku merasa butuh pelindung.
Senja telah terlewat tanpa senyuman. Lagi – lagi aku masih terpaku, membayangkan seandainya aku dan Dama masih sejalan pasti liburan ini akan indah. “Sholat dulu biar lo tenang!” Ali menghampiriku yang sedang nglamun di teras kamar hotel. Diapun menyodorkan mukena merah marun, sepertinya aku harus menuruti kemauannya.
Setelah mengadukan semuanya ke Tuhan, benar aku merasa jauh lebih tenang. Akhirnya ajakan makan nasi goreng tendapun kulakoni dengan semangat membara. Yah! Ini pertama kalinya liburan ke Bali tapi santap di pinggir jalan, sedaplah! “Nambah Pak!” Suara serak Ali membuat senyumku terproduksi. “Kelaparan nih!” ujarku. “Woeee...lo udah bisa senyum, nggak percuma gue buang tabungan plus gaji sebulan. Edan eui...!” Sambaran Ali membuat kadar senyumku bertambah jadi ketawa.
Keluar dari santap nasi gorang nyampleng. Aku dan Ali masih jalan – jalan malam, melirik lampu – lampu kota yang kelihatannya ingin dilirik. Heemm! Kadar senduku sepertinya tinggal 2%, lebih enteng. Eits! Saat kata enteng baru saja kutenteng, mata ini menerkam sesuatu. Dama dan Lita pacarnya lewat tepat di depanku, “Elta, apa kabar?” mulut Dama masih tega bilang “Apa kabar?” jelas kabarku sadis.
“Buat apa kamu tanya kabar? Penting tahu aku bagaimana, hah! Aku rela mengorbankan semuanya buat kamu. Tapi apa, kamu jalan dengan yang lain. Aku berusaha tutup mata, telinga saat semuanya bilang “Dama selingkuh, Dama brengsek”. Kamu sama sekali tak menghargai itu, enak – enakkan, senang – senang sama perempuan lain. Balikin mobil yang udah aku kasih, balikin semua ATMnya sekarang!” teriakan itu tak hanya terdengar oleh Dama tapi juga penghuni trotoar.
“Maksudnya apa?” Dama masih bisa berkilah.