bagian 1. lelah.
hujan menggenangi tanpa ampun setiap ruas kota, dedaunan di chrysotrichus mengangguk-angguk dengan frekuensi cepat, dihantam deretan titik air yang tak henti jatuh sejak empat sore.
Arunika namanya, hanya bisa memandang langit yang melabur, sesekali tangan kanannya menyentuh ujung rambutnya, sementara tangan kiri erat mendekap tas biru langitnya. Â teras toko tua yang telah lama tutup itu tak sepenuhnya bisa membentengi dirinya dari percikan basah hujan.
sesekali tempias datang, membuat matanya terpejam, merasakan bulir air yang menyentuh wajahnya, hingga pecah kemudian jatuh menyusuri kulitnya dan luruh perlahan ke bumi.
"sudah tiga puluh dua menit", pikirnya sembali menengok jam tangannya yang sedikit berembun. Â pilihan untuk berjalan kaki dari kampus menuju rumah rupanya tak sejalan dengan cakrawala yang menjelmakan gerimis menjadi hujan.
sebenarnya tinggal dua belokan lagi, tak sampai satu kilometer, sebelum kakinya terpaksa berhenti dan bernaung.
'delapan puluh lima tahun sudah.." pikirannya random saja, memikirkan angka 1939 yang terpasang di fasad rumah tua tempat dia berteduh. Â beberapa rumah tua di sekitar memang mencantumkan angka tahun di dekat ujung genteng. Â kota tua yang tak bosan-bosannya dia tuliskan di draft-draft fiksi atau sesekali dia ceritakan pada satu dua kawan yang dia percaya.
"boleh ikut berteduh, tidak"
tiba-tiba saja ada suara yang memecah pikiran randomnya. Â sesosok lelaki yang setengah menundukkan kepala padanya, seakan-akan meminta persetujuan. Â Arunika hanya mengangguk, sembari mengibas-ngibaskan sepatunya yang terbasahi air hujan yang mulai membasahi teras.
sekilas kemudian matanya tertuju pada sticker di helm hitam yang dipegang lelaki itu. Â entah motornya diparkir dimana, atau mungkin ..