Seharusnya mungkin aku melupakan sekujur Jogja yang penuh dengan jejak dan bayanganmu, oh jauh menjauh sampai ke barat, di alur yang katamu juga tak pernah bisa terhapus seperti jelaga di sudut langit-langit kereta.
Fragmen-fragmen yang terserak sampai ke batas buih ombak selatan pun adalah abadi, memegang erat kaki sehingga yang selalu berat menjauh meninggalkan semua luka yang jarang kau ceritakan.
Dulu, masih ada cerita yang aku harap masih terbaca, sampai sekarang semuanya terkekang dan diam, lalu diam-diam terpendam dan dinding pun terpancang menghalang, tapi pula aku masih sanggup mengenangmu diam-diam dalam diam.
Menulislah kembali, tentang apa saja, di pelataran rumah sederhanamu yang akan selalu aku ingat, di suatu pagi yang sejuk sehingga bangun pun telat. Â Atau datanglah lagi, tiba-tiba saja, tak perlu pakai peringatan, seperti sapa yang terkadang hadir begitu saja, memecah waktu, dan kepingnya sama-sama kembali kita lempar, jauh.
Kan kuingat, hembus napasmu dalam senyap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H