Niat bersepeda yang agak menanjak sudah ditetapkan sejak kemarin, karena sudah cukup lama tidak sepedaan rada jauh dan nanjak-nanjak. Â Kebetulan sangat sedikit alternatif untuk destinasi yang menyuguhkan tanjakan, tapi tujuan utama tentu saja Bukit Mandiangin dengan titik finish Pesanggrahan Belanda yang dulunya juga adalah komplek Sanatorium di masa lampau, jaraknya sekitar 27 km dari rumah dan titik puncak tujuan adalah sekitar 450 mdpl. Â
Kebetulan juga sedari lama ingin mencoba bersepeda dengan Soloist 71 yang single gear, artinya cuma punya satu chainring alias gear depan dan satu gear belakang dengan rasio 46:16. Â Sebenarnya kemarin sudah ingin mengganti freewheel belakang dengan gigi 18, tapi apa daya tak bisa dicopot, akhirnya nekat saja sudah, dengan niat akan berhenti di titik dimana sepeda sudah tak mampu lagi di kayuh karena walaupun ketinggiannya cuma 450 mdpl, tapi jalanannya cukup curam dan melelahkan, bahkan saat dijalani dengan roadbike.
Start dari jam 7 pagi, mengayuh dengan santai, melintasi Kota Banjarbaru, dan sesampainya di Simpang Empat lurus ke timur untuk kemudian singgah di warung pinggir jalan membeli sebotol air minum lokal, merknya Prof seharga tiga ribu rupiah. Â bersepeda pagi memang jarang diawali dengan sarapan, karena biasanya bikin error perut saat di jalan, jadi rencananya nanti saja sekalian brunch sesampainya di atas.
Mampir sejenak, lalu melanjutkan perjalanan melewati markas tentara Yonif 623, terus lagi ke timur melewati pabrik air minum Prof yang barusan dibeli, sampai akhirnya tiba di pertigaan. Â Jikalau lurus itu menuju Aranio dan berujung di pelabuhan waduk PLTA Riam Kanan, ke kanan adalah menuju Tahura Mandiangin yang puncaknya adalah destinasi utama sepedaan hari ini. Â Sempat bimbang ingin jalan yang lurus, tapi karena sudah niat maka memutuskan berbelok ke kanan. Â Mungkin nanti pulangnya memutar lewat jalan yang lurus tersebut.
Setelah berbelok ke kanan, nantinya akan melewati perkampungn, dan sudah masuk wilayah hutan lindung. Â Tahura Sultan Adam sebagian wilayahnya juga masuk KHDTK alias Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus, yaitu untuk hutan pendidikan di lapangan yang dikelola oleh Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat, kampus tempat saya kuliah dulu sewaktu S1.
Perbatasan antara perkampungan dan wilayah Tahura sekilas pun akan terasa saat memasuki area hutan yang relatif tak berubah selama puluhan tahu, rasa sejuk menyambut siapapun yang memasuki daerah situ. Â Sebelum nantinya sampai di gerbang, dan membayar retribusi yang dikelola oleh Kantor Tahura yang berada di bawah hirarki Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Selatan. Â Untuk sepeda cukup bayar 11 ribu saja, itu untuk bayar masuk satu orang plus asuransi. Â Sepeda sendiri tak dikenakan biaya, menyenangkan memang.
Tak jauh dari gerbang dan pos jaga, langsung disambut oleh tanjakan yang tentu saja gagal dilewati dengan cara mengayuh, elevasinya cukup curam sehingga mengharuskan turun dari sadel dan menuntun sepeda, hal yang jarang dilakukan dengan sepeda dengan gear yang cukup besar. Â Tapi tak apalah sekali-sekali begitu.