Membaca topik pilihan ini mengingatkan saya pada rute ke kantor selama tiga hari terakhir ini, perjalanan yang memakan waktu lebih lama dari jarak tempuh biasanya. Â Sebenarnya awalnya ingin menghindari titik jalanan yang rusak dan berlumpur karena jadi pintu keluar masuk truk pengangkut tambang galian C, yang entah kenapa masih bebas beroperasi, padahal masuk kawasan hutan lindung.
Ternyata rute pilihan ini menyenangkan, teramat menyenangkan malah. Â Jalanan relatif sepi, karena melewati pedesaan, perkampungan yang cukup jauh dari pusat kota, dan masih hijau dengan pepohonan. Â Jadinya sepanjang jalan terasa sejuk, walaupun saat matahari sudah muncul sekalipun.
Pepohonan memang pencipta iklim mikro, seakan-akan punya dunianya sendiri, sehingga relatif lebih adem dibanding di tempat yang gersang dan meranggas. Â Apalagi rumah penduduk juga masih banyak yang terbuat dari kayu dan papan. Â Pemandangan tersebut mengingatkan pada rumah tempat masa kecil saya dulu, berlantai panggung, turus pondasi dari kayu ulin, dinding dari kayu meranti dan ramin, sementara atap dari sirap- irisan kayu ulin yang disusun menjadi atap.
Rumah saya itu terasa sejuk di siang hari dan tak terasa pengap di malam hari, apalagi langit-langitnya juga relatif tinggi, uniknya plafon rumah kami juga terbuat dari susunan papan kayu. Â Bahkan rasanya tak perlu kipas angin, apalagi AC yang jelas tak terjangkau.
Lebih-lebih dulu, musim masih terjaga, iklim global juga relatif masih bagus, karena hutan masih belum dibabat oleh pengusaha yang berlindung di balik ijin HPH. Â Sekarang cuaca sudah tidak karuan, bahkan batas antara musim hujan dan kemaru pun sudah tak jelas. Â Pepohonan lenyap, cuaca tak lagi enak, malah kadang yang muncul kabut asap.
Terkait dengan lingkungan yang sejuk ini, saya teringat akan seorang profesor di kampus saya di Jogja, beliau keukeuh tak mau memasang AC di ruangannya, tapi konon ruangannya tetap terasa adem, itu karena beliau meminta sirkulasi udara tetap terjaga dengan dibukanya jendela dan dekat dengan pepohonan yang memang tumbuh rindang dan hijau di sekitar kampus. Â Apalagi di dalam lingkungan kampus juga tumbuh arboretum yang terjaga, yang bahkan menjadi semacam rumah singgah bagi burung-burung yang entah migrasi dari mana.
Satu lagi, saya juga beruntung hidup di kota kecil bernama Banjarbaru ini, dimana hutan kota masih terawat, pepohonan di tengah kota masih terjaga, sehingga kesejukan tetap terjaga.  Jadi kuncinya cuma satu, menjaga hijaunya lingkungan agar iklim mikro tetap terjaga dan kesejukan alami juga bisa dirasakan dengan nyaman.  Tak perlu menggunakan alat tambahan untuk mengusir panas, biar alam yang bekerja.  Mungkin semacam simbiosis mutualisme jadinya, kita merawat alam, alam pun akan menyayangi kita.
Terakhir, sebagai contoh nyata, tengok saja Bogor yang beruntung mempunyai Kebun Raya di jantung kotanya, sehingga gelar kota hujan pun bertahan dari dulu sampai sekarang, itu tak bukan karena habitat pepohonan yang terjaga dan dilindungi. Begitulah, tak cuma urusan interior dan eksterior rumah sebenarnya, tapi justru lingkungan lah yang membantu hidup lebih terasa nyaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H