Siang itu jalanan panas, teramat panas, kulit akan terbakar walau itu artinya juga langit pasti bakal cerah. Biru sebiru-birunya. Â Selalu saja dunia ini imbang rupanya, ada sedikit sakit yang menembus kulit, tapi birunya angkasa juga memanjakan mata. Hati juga akan ikut cerah, biasanya.
Surabaya memang panas, tapi angkot lyn E hijau pupus itu tentu saja melindunginya dari panas matahari, asap kendaraan bermotor saja yang memang lumayan membuat langit di barat sedikit terlihat berasap. Â Sampai kemudian memutuskan untuk turun di persimpangan aneh antara Gubeng dan Jembatan dekat Monkasel. Lampu merah rasanya terlalu lama berubah menjadi hijau di titik situ.
Turun untuk kemudian berjalan beberapa ratus meter, menyusuri jalan utuk kemudian menyeberang jalan, tentu saja melewati jembatan penyeberangan dari beton, yang seperti biasa lengang. Â Orang-orang lebih suka menyeberangi jalan yang tak putus dengan kendaraan lewat, tak pernah berani untuk menyeberanginya. Â
Di seberangnya adalah Delta Plaza, nama aslinya Surabaya Plasa, bangunan tahun 1988 itu masih kokoh dan tetap saja terlihat mewah namun juga tetap sederhana di matanya. Â Paradoks yang aneh memang. Atau memang dianya yang aneh. Â Sama dengan kelakuannya yang memutuskan turun di persimpangan jalan dan jalan kaki ke situ.
Tujuannya sudah pasti, adalah ke lantai dua, rumah makan ayam goreng, janjian dengan teman perempuan sekampusnya, beda jurusan, untuk nanti janjian nonton setelah kelar makan. Â Rencananya begitu.
Hari senin, saat itu adalah waktunya nomat memang nonton hemat. Â Harga tiket film bisa separuh harga biasa, makanya dia memberanikan diri mengajak nonton hari itu. Â Tree, temannya itu sedang menyelesaikan tugas di lab komputer kampus, makanya disuruh duluan, sekalian minta pesankan es krim di eskalator menuju lantai dua, katanya tadi.
Hingga di situlah Tra menunggu. Â Limabelas menit sebelum aroma vanilla yang dikenalnya perlahan mendekat, dan bergegas berbalik saat dia merasa ada langkah yang terhenti, dan benar saja, perempuan yang ditunggunya sudah bersiap-siap mengisenginya, dan raut kecewa sedikit merengut itu disambutnya dengan tawa.
"Kok, tau aja sih". Berkata begitu sambil menarik kursi warna kuning, berhadapan-hadapan. "Pesanananku, mana?" Â Sambungnya lagi.
"Tadi sudah aku pesan, tinggal ambil. Blue paradise, kan?" Â Sahutnya sambil menyebut es krim kesukaan Tree satu tahun belakangan ini, dan tak pernah berubah, selalu konsisten.
Tak ada jawaban, malah langsung berdiri riang dan berjalan menuju counter. Â Sejenak kemudian membawa gelas lebar bertangkai yang berisi dua tangkup es krim biru cerah dengan butiran warna warni di atasnya. Â Tak lama kemudian dia asik menikmatinya, sambil melihat orang yang turun naik di eskalator di hadapan mereka.