Mohon tunggu...
R. Syarani
R. Syarani Mohon Tunggu... Lainnya - pesepeda. pembaca buku

tentang hidup, aku, kamu dan semesta

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Elegi Gagal Lagi Membuat Ragi

4 November 2022   09:52 Diperbarui: 4 November 2022   10:09 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto ragi dari kompas.com (Shutterstock/Fascinadora)

Selama pengalaman membuat donat, yang relatif mudah karena cuma perlu ragi instan dan cuma perlu proses sekitar satu jam sampai daonan benar-benar mengembang sempurna.  Sampai akhirnya pernah kepikiran untuk membuat ragi sendiri, tentu saja berdasarkan hasil baca sana sini.

Percobaan pertama adalah menggunakan kismis yang biasa digunakan sebagai biang ragi.  Selain bahannya relatif mudah dicari, peosesnya pun tak memerlukan waktu yang lama, cuma perlu seminggu seharusnya dari awal proses hingga jadi.  Sungguh saat mengamati bagaimana nanti cairan ragi itu berbuih itu rasanya deg-degan.

Tapi apa daya, menjelang hari terakhir, buih-buih itu menghilang, meninggalkan endapan yang beraroma kematian, percobaan pertama gagal total.  Rasanya mengulanginya sampai percobaan kedua dan tetap gagal.  Sampai akhirnya memutuskan untuk menyerah kalah.  Kapok!

Beberapa tahun kemudian kembali tertarik mencoba membuat ragi alami lagi. Kali ini semangat untuk membuat starter sourdough, yang sepertinya tak memerlukan bahan yang macam-macam, cukup tepung dan air.  Itu gara-gara beberapa kali melihat bentukan roti artisan dengan sourdough yang sepertinya menakjubkan dan membuat penasaran, katanya nikmat.

Rasa penasaran semakin diperkuat oleh imajinasi setelah membaca kisah hidup si Tansen sang blogger yang terdampar di toko roti sebuah kota kecil, dan yang berhasil menghidupkan toko roti nenek moyangnya dengan starter warisan turun temurun.  Itulah nukilan kisah di Madre karya Dewi Lestari yang juga difilmkan dan visualisasinya semakin menggoda keinginan untuk bikin stater juga.

Kala itu sampai membeli timbangan digital supaya rasio tepung dan air benar-benar presisi.  Proses pun kembali dimulai, pembuatan sourdough ini perlu kesabaran yang lebih karena perlu waktu yang lebih lama dalam menjaga kembang biak lactobacillus.

Tapi apa daya, setelah tiga kali mencoba, dengan rasio yang berbeda-beda berdasarkan pengalaman orang lain, nyatanya selalu saja gagal di hari-hari terakhir.  Rasanya patah hati melihat buih-buih menghilang dan cuma berganti endapan dan cairan yang hening.

Kemarin membaca ulang buku Madre, rasanya kembali ingin mengembangbiakkan starter lagi.  Semoga proses membuat ragi tidak kembali menjadi elegi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun