Hal yang saya kurang sukai sejak dulu dari bahasa Indonesia adalah karena begitu kaku terhadap bahasa lain, terkadang maksa membuat padanan kata dari bahasa asing dengan semena-mena hanya karena berdasar kesamaan di beberapa bagian, padahal beda makna.  Misalnya pada kata yang selalu terasa janggal, yaitu kata mengunduh sebagai kata ganti download.  Walaupun ada kemiripan karena prinsipnya mengambil sesuatu dari atas dengan menggunakan alat, tapi sesuatu yang di download kan bentuknya abstrak dan letaknya di cloud.  Beda dengan mengunduh buah dan mantu.
Jadinya tiap kali membaca kata mengunduh seakan-akan bentuk persiapan menjadi seorang mertua, yang lagi pengen mangga. Duh.
Maksud saya kenapa jika ada kata yang memang tidak ada padanan yang tepat, biarkan saja dalam bahasa aslinya, toh sejatinya bahasa adalah untuk alat komunikasi, yang penting orang paham akan makna kata yang dimaksud. Atau jika pun terpaksa cukup modifikasi dari bahasa aslinya, seperti kata nama yang sepertinya merupakan kata serapan dari bahasa Jepang yaitu namae.
Makanya seringkali jarang mengubah pengaturan bahasa di gadget, karena jadinya seringkali membingungkan, banyak kata-kata yang rasanya dipaksakan.  Alih-alih membuat pemakainya mengerti, yang ada malah bikin pusing.  Misalnya ya kalimat 'pembaruan perangkat lunak' yang sering jadi membayangkan peralatan dari jelly.  Atau kalimat 'segarkan App di latar' yang membuat rasanya ingin menyiram air es di dinding.
Sekali lagi, kata yang sulit dicari padanan persisnya, sepertinya memang lebih bagus dibiarkan dalam versi bahasa aslinya.
Makanya waktu ada kabar tentang masuknya kata-kata baru ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang sifatnya lebih adaptif rasanya lebih bijak dan merupakan angin segar bagi penggunaan kosa kata dalam bahasa Indonesia yang lebih fleksibel, nah kata fleksibel ini termasuk contoh.yang menyenangkan sebagai contoh karena diadaptasi langsung dari bahasa aslinya cuma mengalami perubahan di beberapa huruf.
Tapi terkadang penggunaan perubahan huruf dalam kosa kata Indonesia juga menjadi perdebatan gara-gara masalah lafal dan makna, misalkan ada yang keukuh menggunakan kalimat insha Allah untuk kalimat .  Padahal  pengucapan huruf kata insya adalah syin.  Dalam KBBI pun yang tertulis adalah insya Allah yang maknanya maknanya 'jika Allah mengizinkan.
Dalam hal tersebut, boleh lah KBBI akhirnya menjadi penengah bagaimana penggunaan yang benar menurut kaidah EYD alias ejaan yang disempurnakan.
Bahasa yang luwes tentu saja lebih menyenangkan karena semakin banyak pilihan kosa kata yang bisa dipergunakan dalam menulis, dan memang sewajarnya jika mengikuti perkembangan jaman pada beberapa hal. Tak juga pembelajaran bahasa Indonesia harus sekaku dosen bahasa Indonesia saat dulu kuliah di semester satu. Â Hanya gara-gara tak rapi dalam menuliskan jawaban di lembar ujian, maka tak diluluskannya pula mahasiswanya.
Oh, paragraf terakhir itu cuma sekedar curhat, Â kata yang rupanya belum masuk dalam KBBI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H