Mutungan merupakan kata bentukan dari mutung, yang dalam bahasa Jawa artinya ngambekan alias suka ngambek. Â Sebuah ungkapan atas perilaku seseorang yang tidak puas dengan apa yang dialaminya dan kecewa akibat tidak sesuai dengan harapan. Â Kata mutung ternyata juga sudah masuk KBBI yang didefinisikan 'sebagai patah hati sehingga tidak mau melanjutkan hubungan'.Â
Selalu saja ingat kata di atas jika ada yang menyebut nama Tere Liye, walau rasanya itu lebih halus daripada seseorang yang menyebutnya sebagai kampret di sebuah tulisan.  Walaupun demikian nyatanya penulis yang lahir di tahun 1977 itu  telah menerbitkan buku sekitar 54 judul, ditambah dengan 4 karyanya yang diangkat menjadi film layar lebar. Â
Kenapa jadi diberi gelar mutungan, itu karena merujuk pada kejadian di sekitar tahun 2017, saat penulis tersebut menyatakan tak lagi mencetak ulang buku-bukunya dikarenakan merasa tidak adanya keadilan terkait pengenaan pajak terhadap karya-karyanya. Â Sebuah pernyataan kontroversial yang berani, walaupun nyatanya setahun kemudian karyanya kembali dicetak dan diedarkan lagi.
Selain mutungan, tak banyak yang mengetahui bahwa Tere Liye juga sangat labil, selain terbukti inkonsistensi dengan pernyataannya sendiri sebagaimana kejadian di atas. Jika diamati ada beberapa judul novelnya yang diganti nama setelah dicetak ulang, semisal novel yang sebelumnya berjudul Burlian di tahun 2009, berubah menjadi Si Anak Spesial yang  terbit di tahun 2018, begitu pula yang dengan  7 judul lainnya.
Rasanya kalau menulis tentang kekurangan seseorang jadinya tidak objektif dan tidak imbang, meski ada kejadian emosional lainnya yang mendapat reaksi dari netizen terkait beberapa pernyataan Tere Liye di media sosial, salahsatunya tentang alur cerita di novelnya yang dikaitkan dengan paedofilia. Â Nyatanya telah menerbitkan buku sejak 2005 sampai sekarang bukanlah prestasi yang bisa dibuat oleh banyak orang.
Soal bagaimana perilaku penulisnya itu lain soal, toh dia bisa membuat alur cerita yang cukup baik dan mempunyai penggemarnya tersendiri.  Saya sendiri baru pernah menonton satu film yang diadaptasi dari novelnya yang berjudul Hafalan Shalat Delisa.  Kisah yang berlatar kejadian bencana tsunami di Aceh pada tahun 2004.  Emosi  di cerita tersebut nyatanya bisa tersampaikan dengan baik, hal tersebut hanya dimungkinkan jika riset yang dilakukanna terhadap alur cerita juga dilakukan dengan cukup detil.
Selain judul di atas, saya belum pernah lagi membaca karya-karyanya, mungkin dikarenakan hallo effect akibat kelakuan penulisnya, mungkin juga karena tak begitu bisa klik dengan fiksi yang terlalu mengedepankan kesedihan menjadi latar cerita. Â Walaupun saya tahu ada fiksi yang benar-benar berlatar hayalan seperti serial dunia paralel yang disusunya, itu pun sekilas saja pernah membaca buku pesanan adik saya beberapa tahun silam.
Jadi demikianlah, perilaku seorang penulis kadang-kadang memang tak bisa menggambarkan isi kisah yang dibuatnya, atau juga sebaliknya. Â Bagaimanapun, mencari data-data tentang seseorang selalu menarik, biografi seseorang terkadang memberi rasa penasaran yang tak habis-habis. Â Seperti juga sekilas tentang Tere Liye di atas, penulis favorit seorang kawan saya, yang tampaknhya mengidolannya sejak dulu kala.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H