Melihat status media sosial seorang kawan, menjadikan ingatan terlempar ke circa 2003-2003 sewaktu kuliah di Surabaya. Â Kota di timur Pulau Jawa itu dipilih saat seleksi beasiswa dikarenakan aksesnya yang dekat dengan pelabuhan, motivasi yang sedikit aneh memang. Â Hal tersebut dikarenakan harus meninggalkan keluarga di Banjar, otomatis harus memperhitungkan lama waktu bertahan jauh dari keluarga.
Nyatanya saat menjalani kuliah, hampir setiap bulan menyempatkan diri untuk pulang. Â Beasiswa dan gaji yang ada jelas tak mampu menutupi biaya transportasi via udara, alternatif utama tentu saja lewat jalur laut. Â Kapal laut yang biasa ditumpangi adalah jenis fery atau roro (roll-on/roll-off) yang bisa memuat kendaraan roda empat selain mengangkut penumpang.
Biar lebih irit, nyaris setiap kali berangkat dari Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya pulang dengan menumpang mobil truk yang biasanya membawa sayur mayur dan barang lainnya menuju Banjarmasin. Â Dulu untuk satu mobil truk, disertakan tiga lembar tiket penumpang, sementara penumpang truk biasanya cuma dua orang yaitu supir dan kenek, makanya sisa satu tiket lagi dijual untuk penumpang umum yang berminat.
Kelebihan menumpang truk adalah selain lebih murah dari tiket penumpang umum, truk  didahulukan masuk ke dalam perut kapal sebelum penumpang umum yang masuk belakangan, sehingga penumpang truk bisa leluasa memilih tempat tidur yang tidak memiliki nomor.  Siapa cepat dia yang dapat tempat yang strategis untuk istirahat.
Tempat tidur di kapal laut semacam Dharma Kencana atau Kumala berbentuk dipan yang menghampar di sepanjang dek kapal yang terdiri dari sekitar tiga lantai. Â Paling atas biasanya terdapat musholla untuk sholat. Â
Ada juga area tempat tidur seperti bangku di bis, tapi biasanya jarang peminatnya. Â Tidur dalam keadaan duduk selama puluhan jam pegalnya cukup lumayan juga.
Perjalanan menuju Banjarmasin dari Surabaya memakan waktu sekitar kurang lebih 20 jam yang juga perlu kesabaran, karena di waktu dulu masih belum ada hiburan dari internet dan sinyal telepon pun tak ada sama sekali di tengah laut. Â
Kalau bosan di tempat tidur, paling jalan-jalan di lorong samping kapal, atau nongkrong di kantin yang harga makanannya rata-rata dua kali lipat dibanding di daratan.
Kesabaran lebih meningkat lagi saat cuaca buruk, biasanya menjelang akhir tahun sering terjadi badai di tengah laut. Â Kalau sudah begitu siap-siap saja menahan gejolak perut, baik karena gelombang tinggi maupun aroma muntah yang biasanya tercium di seluruh sudut kapal. Â Agak horror memang suasananya.
Selain itu untuk kamar mandi kelas ekonomi harus bersabar, bergantian, walau kadang keinginan untuk mandi sering hilang saat melihat penuhnya penumpang di waktu bersamaan.
Biasanya setelah sekitar 18 jam daratan mulai terlihat, tapi masalahnya pelabuhan Trisakti di Banjarmasin letaknya di tepi sungai. Dari muara masih perlu sekitar dua jam sebelum sampai pelabuhan. Â Itu juga jika perjalanan lancar tidak mengalami kandas di tengah sungai akibat sedimentasi sungai tang semakin bertambah tiap tahunnya.