Mohon tunggu...
Dian Alifirdaus
Dian Alifirdaus Mohon Tunggu... Petani - Penulis Pembaca dan Pendengar

Tidak semua yang mengkilap itu emas atau berlian.Tak penting bagaimana bangkainya, namun lihatlah! Apakah ada yang istimewah dalam hatinya💕 Instagram @dian_alifirdaus 💕

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Bukan Kutukan

16 Februari 2020   12:59 Diperbarui: 18 Februari 2020   13:50 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kudekatkan indera pendengaranku ke arah pintu kamar berwarna keemasan, yang terbuat dari kayu jati. Ukiran literatur kembang tergambar jelas di pintu kamar itu. Dari dalam sana terdengar suara isak tangis yang seduh sedan. Dalam hatiku bergumam kenapa lagi adikku menangis.

Aku yang masih berseragam putih abu-abu belum sempat menanggalkan seragamku. Kemelut perasaanku mendengar tangisan adiku Toto, pasti ia dimarahi Ibu lagi atau dimarahi Bapakku lagi. Aku mengetuk pintu memanggilnya.

" Toto buka pintunya dek, kakak mau masuk," ijinku. Saat ia membuka pintu kamarnya rupanya masih berseragam sekolah juga. Matanya merah sembab, setiap hari ia menangis bertarung dengan air matanya. Kemudian ia merangkul pingangku.
" Kena marah lagi ya dek". Aku mengusap air matanya yang merebak di pipinya. Menenangkanya, setiap kali aku merangkulnya ia selalu tenang. Sejujurnya kondisi aku dan adikku sama saja. Kami berdua sering dimarahin bedanya air mataku lebih banyak kusimpan dalam hati, ketimbang Toto yang masih kecil ia lebih leluasa menangis, mungkin karena aku sudah besar dan mengerti cara menyembunyikan rasa sedih.

" Kak kita minggat saja ke rumah Nenek, Toto capek kak dimarahin Ibu terus," bujuk Toto.
" Mmmm kamu ganti pakain ikut kakak bantuin bik Surti jualan, nanti kita makan di warung bik Surti," ajakku pada Toto.

******************

Jauh sebelum Toto lahir, peranggai Ibuku dan Bapaku memang kasar, kondisi ke uangan yang tidak stabil, penghasilan tak menentu ditambah jauh dari ajaran agama membuat kedua orang tuaku memiliki sifat yang beracun. Dulu Bapakku memiliki pekerjaan sebagai  bendahara desa gajinya lumayan mencukupi kebutuhan kami.

Tapi karena ibuku terlalu konsumtif dan memiliki banyak hutang, itu membuat Bapakku bekerja tidak jujur banyak mengelapkan dana desa. Alhasil Bapakku di pecat. Semenjak itu kehidupan ekonomi kami terombang-ambing, dan yang menjadi sasaran emosi mereka berdua yaitu ke aku dan Toto. Sungguh aneh di tengah masalah ekonomi yang kurang kondusif mengapa kemarahan mereka tumpahkan kepada kami. Tidakkah mereka sebelum membangun rumah tangga ini berdiskusi bagaimana menghadapi misteri kehidupan di segala keadaan yang tidak bisa dijamin.

Aku bahkan tidak mengerti salah kami apa?, sebagai anak semua perintah kedua orang tuaku kami turuti. Setiap hari aku selalu bangun sebelum subuh menyiapkan sarapan, bahkan pulang sekolahpun aku harus memasak nasi memasak lauk. Setiap kali pulang sekolah tak ku jumpai makan siang di meja makan.

Ibukku lebih banyak menghabiskan ke rumah tetangga bergosip dengan sealiran dengan kebiasaanya. Sementara Bapakku kerja sebagai tukang ojek setelah dipecat dari pekerjaan lamanya. Kadang suka kasihan lihat adikku Toto kalau aku belum pulang dari sekolah ia selalu merasa kelaparan. Ibuku tak pernah menghiraukan akan itu. Sedih rasanya di tengah kehidupan keluarga begini. Kalau sudah begini rasanya surga di telapak kaki ibu hanya ungkapan yang tak bermakna. Apa masih ada surga di telapak kaki ibu yang toxic .

Setiap kali Toto mengadu lapar bila pulang sekolah, bukanya memasak lauk pauk dan nasi. Ibuku mala mengerutu dan menyuruh masak sendiri. Kadang juga Toto membantu aku menyelsaikan pekerjaan rumah. Waktu istirahatku cuma malam. Kalau siang selepas pulang sekolah aku ikut bantu jualan makanan di warung bik Surti.

Jika Bik Surti tidak jualan kadang aku menawarkan jasa buat nyuci pakaian, nyetrika pada tetangga. Syukurnya pekerjaan itu selalu ada setiap hari dan aku sengaja membuat tulisan di kertas karton untuk menawarkan diri buat melakukan  tugas tugas tersebut.  Bayaran  
paling mentok Rp 75.000,00 dan paling kecil Rp 25.000,00
Lumayan buat ongkos sekolah dan buat jajan Toto.

Tapi hasil dari tugas-tugas itu lebih banyak ibuku yang mengambilnya. Dan aku hanya sebagian saja.

******************

" Tinggalin itu cucian , cepat ke dapur masak sana Ibu dan Bapakmu lapar," sentak Ibuku. Toto menatapku tak bergeming ia ikut membantuku mencuci pakaian.

" Ibu bisa lihat nggak aku dan Toto lagi mencuci pakaian, lagi pula Ibukan bisa gantiin Vina di dapur sebentar," jawabku lelah.
" Sudah berani ya jawab omongan Ibu, dasar anak tak tahu diri," bentaknya.
" Bu bukan begitu maksud Vina, ini Vina lagi mencuci pakaian, setelah selesai ini baru Vina ngerjain tugas di dapur," jawabku lagi.
" Mulai ya sepatah kata ibu, dan mulai kamu sok pintar ngejawab anak durhaka," maki Ibuku.

Mendengar ucapan itu sontak mataku berkaca-kaca tidak tahan lagi. Biasanya aku bisa sembunyikan air mata ini di dalam hati, mataku merah. Adiku Toto memeluk tubuhku yang tiba-tiba menghentikan membilas baju.
Sementara Ibuku mukanya murka dan matanya melotot.

" Aku dan Toto capek bu dengerin omelan ibu itu, setiap  hari Ibu memarahi kami. Padahal semua tugas rumah sudah kami kerjakan. Kalau Ibu sering menyebut kami anak tak tahu diri durhaka, terus kenapa Ibu melahirkan kami.  Kalau Ibu nggak siap punya anak kenapa dulu Ibu menikah, kalau kami boleh memilih kami tidak mau terlahir dari Ibu yang kasar yang sukanya marah-marah, " balasku.

" Ibu juga tidak mau punya anak yang kurang ajar berani menjawab omongan Ibu ," balasnya sengit.

" Ibu usir saja Toto dan Kak Vina dari rumah ini kalau Ibu tidak menginginkan kami, bukankah yang nikah dan ingin punya anak Ibu sama Bapak," jawab Toto pelan.

" Kami capek Bu dimarahin terus,  Ibu lama-lama beracun. Kalau saja Tuhan mendengar doa kami berdua detik ini saja. Kami lebih baik pulang ke rahim ibu supaya tidak terlahir lagi ke bumi ini. Ibu tidak pernah mengerti psikolgis batin kami. Ibu hanya marah, marah dan marah," jawabku kencang meninggalkan cucian yang masih menumpuk di kamar mandi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun