Namanya Qais Aislamia, dia seorang perempuan yang telah bersuami. Suaminya seorang dosen, yang bertugas di salah satu kampus di kota Jakarta, suaminya bernama Alexandra Hutama. Qais Aislamia memiliki dua orang anak yang berusia sepuluh tahun dan lima tahun, nama anaknya  Husan Hutama dan Husen Hutama, kedua nama anaknya mengambil nama akhiran bapaknya.Â
Qais  Aislamia sendiri berasal dari kampung, tidak murni seratus persen berdarah orang kota, dan kali  pertama ia berhijra ke Jakarta, betapa ia merasa asing karena tak ada ruang sapa, kiri dan kananya berdiri rumah mega berpagar tingi. Qais kesulitan bagaimana cara beradaptasi, Qais sendiri sebenarnya bekas mahasiswi dari suaminya, ketika menikah usia mereka terpaut jauh.Â
Namun itu tak masalah jodoh tak memandang usia. Jadi Qais ini merupakan mantan mahasiswi suaminya sendiri.
Alasan Qais merasa asing karena di sekeliling tempat tinggalnya dihuni tembok dan tanaman yang yang di tata sedemikian rupa beda sama di kampung di antara rumah satu dan yang lain masih ada ruang. Merasa asing Qais lebih banyak menghabiskan waktunya dirumah untuk mendidik anaknya. Satu hal yang membuat ia begitu ditaksir Alexandra Hutama karena Qais itu pinter dan cantik dan soleha. Qais memang primadona pada masa itu.
Usia pernikahan mereka sudah berjalan sepuluh tahun beriringan dengan ulang tahun anaknya yang nomer satu. Penampilannya yang sederhana dan bersahaja, membuat ia mulai dikenali tetangganya. Lambat laut waktu bergulir Qais mendapatkan teman dari sekitarnya. Tetangganya sosialita kaya modis dan gaul tapi juga nyinyir. Berbeda dengan Qais yang biasa saja lebih cendrung seperti tidak punya apa-apa.
Kini semenjak ia tinggal di kota kehidupan rumah tanganya sedikit berubah, suaminya sibuk dengan tugas mengajar dan mengikut berbagai seminar yang diutus oleh kampus.Â
Qais menghabiskan waktunya menjadi ibu rumah tanga, tetangganya menanyakan prihal mengapa Qais tidak berkarir saja daripada menjadi ibu rumah tanga yang tak menghasilkan materi begitu pertanyaan tidak penting itu.
 Qais menjawab bijak menjadi ibu rumah tanga merupakan karir yang mulia, baginya mungkin tidak mengalir uang. Tapi ia senang menyaksikan dua putranya tumbuh dalam didikanya, tidak selamanya menjadi ibu rumah tanga itu jelek. Tapi sayang penyakit usil tetangga memang pada akut dan mengakar di balik rambut yang sama hitam dan darah yang sama merah, hati manusia siapa yang tahu.
Kalau bukan nyinyir bukan tetangga namanya, budaya nyinyir bin sibuk ngurusin privasi orang adalah khas khasana orang Indonesia. Menjadi tetangga yang berlidah dua seolah menjadi kewajiban. Di negeri yang moyoritas muslim ini kebanyakan orang ingin tau urusan pribadi orang lain.Â
Untunglah Qais sudah terbiasa menghadapi rasa ingin tahu para tetangganya, di kampung pun sama tabiat nyinyir ngomongin orang juga ada, tidak mengenal tempat, mungkin kalau tidak nyinyir tetangga seperti itu mulutnya gatal, bagi Qais tetangga seperti itu jangan terlalu digubris.
Bagi Qais hidupnya seperti sebuah tulisan yang di mana ada spasi ada koma , dan tanda titik jadi sebisa mungkin ia meminimalisir  perjumpaan dengan tetangganya bukan karena individual lebih menghindari dari hal yang mendatangkan perjumpaan yang negatif.Â