Mohon tunggu...
Restoring Coastal Livelihood
Restoring Coastal Livelihood Mohon Tunggu... lainnya -

Perbaikan penghidupan pesisir bagi masyarakat di 4 kabupaten di Sulawesi Selatan (Pangkep, Maros, Barru, dan Takalar).

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Radio Komunitas Mendorong Masyarakat Membangun Desa

15 Januari 2015   21:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:04 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14213072061975824591

Media-madiadi Jakarta bersiaran di atas langit Indonesia dan seringkali mengatsnamakan Indonesia. Sesederhana adzan Magrib yang bersiaran secara nasional, padahal adzan ini hanya relevan untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya. Contoh lain adalah liputan besar-besaran tentang mudik di Jawa, yang belum tentu relevan bagi masyarakat Indonesia yang tinggal di luar Jawa.

Bukan hanya Jakarta sentris, media televisi (khususnya) bersifat elitis. Sistem rating yang hanya menjangkau 10 kota besar di Indonesia dengan 57% sampel diambil dari penonton Jakarta, tidak bisa disebut mewakili penonton Indonesia karena keterbatasan sampelnya yang bias urban dan bias status sosial ekonomi. Sistem rating inilah yang menimbulkan ketidakberagaman isi siaran.

Media (institusi media) melihat masyarakat sebagai dua hal yaitu sebagai konsumen dan sebagai audiens. Media mainstream melihat warga sebagai audiens secara umum tanpa memilah berdasarkan daerah, berdasar kepentingan, atau berdasar karakteristik audiens. Dan sebagai konsumen, karena media ini bersiaran secara gratis (free to air), media seperti produsen yang tidak memberikan pilihan lain terhadap konsumen. Sebut saja sinetron yang bagi sebagian orang tidak menyukainya, ketika kita berpindah ke channel lain, di jam yang sama kita akan menemukan program serupa. Melalui hal-hal seperti inilah, tidak adanya pilihan, warga seperti dipaksa untuk terbiasa dengan sajian yang disediakan. Karena terbiasa dipaksa, warga menjadi terkungkung dalam sikap penerimaan dan secara tidak sadar menyukai atau memakluminya. Tanpa sadar hak warga untuk memilih informasi yang lebih sehat mulai terenggut.

Media mainstream juga seringkali tidak bisa lepas dari kepentingan pemiliknya. Apalagi jika pemilik media terjun di dunia politik, maka isi medianya pun rentan menjadi alat untuk mencapai hasrat politik pemiliknya. Netralitas dan imparsialitas media menjadi bias. Bagi kalangan aktivis mungkin bisa sadar dengan hal ini, namun masyarakat belum tentu sadar akan hal ini. Ditambah dengan intensitas siaran yang berulang, bisa membuat hal yang bukan fakta menjadi hal yang dipercaya publik sebagai suatu kebenaran.

Beranjak dari sini kita menemui pentingnya kehadiran media alternatif. Media alternatif seringkali disebut sebagai media warga atau media komunitas, apa pun istilahnya keduanya tetap mempunyai esensi yang sama. Kehadiran media alternatif berfungsi untuk mengetuk kembali nalar warga yang sudah terbuai oleh kesadaran palsu (false of consciousness) dan harapannya warga menjadi kritis akan pemenuhan haknya atas informasi.

Knowledge is power”, dan untuk mendapatkan power ini harus adanya kesetaraan informasi. Dan akses untuk mendapat kesetaraan informasi ini bisa dicapai melalui media alternatif. Media komunitas/media warga sebagai media alternatif sebagai counter hegemoni dari media yang melihat warga hanya sebagai konsumen dan audiens semata.

Jika media massa dengan paham liberalnya bekerja untuk mengumpulkan keuntungan bagi pemilik modal dan institusi media itu sendiri, disertai mekanisme pasar (rating dan iklan) sebagai faktor yang sangat mempengaruhinya, maka media alternatif merupakan pengembangan sekaligus kritik bagi media berpaham liberal. Media alternatif mempunyai paham tanggung jawab sosial yang memposisikan diri sebagai alat pemberdayaan masyarakat, ia tidak semata mencari keuntungan, tetapi juga menjalankan fungsi sosial. Fungsi sosial ini misalnya media tetap menyediakan siaran yang dibutuhkan masyarakat, walaupun program tersebut kurang menguntungkan secara ekonomi. Media alternatif yang dikelola oleh warga, untuk warga ini, menjamin kesetaraan akses bagi semua pihak untuk berbicara melalui media.

Radio Komunitas sebagai Media Alternatif

Radio komunitas merupakan radio dengan daya pancar rendah (sekitar 2,5 km) yang dioperasikan dan dikelola oleh komunitas (masyarakat) untuk keperluan masyarakat dari komunitas tersebut. Keberadaan radio komunitas dilindungi oleh undang-undang sebagai sarana pendidikan. Pemerintah telah menyediakan frekuensi khusus untuk radio komunitas yaitu di 107.7-9 FM. Karena frekuensinya yang khusus maka harus dipastikan daya pancar radio komunitas terbatas supaya tidak bertabrakan dengan radio komunitas yang lainnya.

Orang sering kali bertanya, di era seperti ini, siapa yang masih mau mendengarkan radio. Pertanyaan pesimistis ini memang sudah hadir sejak pertama kali program Restoring Coastal Livelihood (RCL) berniat mendorong pembangunan radio komunitas di desa dampingan RCL. Pertanyaan ini sebetulnya mudah untuk disanggah. Saat ini hampir semua orang baik di kota maupun di desa sudah mempunyai handphone. Minimal setiap keluarga mempunyai satu handphone sebagai alat komunikasi. Dan di handphone dengan fitur sangat sederhana pun sudah ada aplikasi untuk mendengarkan radio. Sebuah adaptasi radio terhadap kemajuan zaman, sehingga memudahkan orang untuk mendengarkan. Pertanyaan pesimistis itu juga menjadi terabaikan, setelah berdasar studi baik melalui literatur maupun observasi terhadap berbagai radio komunitas di tempat lain, kami mendapatkan temuan bahwa radio komunitas akan tetap mempunyai audiens. Kekuatan untuk mendapatkan audiens itu tidak lain adalah konten lokal.

Konten Lokal dan Diseminasi Nilai-Nilai RCL

Program RCL yang telah mendampingi mayarakat rentan di 4 Kabupaten di Sulawesi Selatan (Kab. Maros, Kab. Pangkep, Kab. Barru, dan Kab. Takalar), berharap setelah pendampingan yang dilakukan bisa tercapainya peningkatan ekonomi masyarakat yang signifikan. Selama 5 tahun terakhir RCL mendampingi masyarakat yang tergabung dalam kelompok ekonomi (community enterprise). Kegiatan kelompok ekonomi ini beragam, namun pada dasarnya berbasis sumber daya pesisir, seperti: budidaya dan pengolahan rumput laut, penangkapan dan pengupasan kepiting, produksi makanan berbahan dasar sumber daya pesisir, pertanian organik, dan pelestarian mangrove.

RCL juga melakukan pembangunan kapasitas masyarakat melalui penguatan pemerintahan desa, serta pembangunan masyarakat dalam hal keadilan jender, terutama membuka akses bagaimana agar perempuan bisa berproduksi, mengelola dan mengontrol sumber daya di sekitarnya. Pembangunan kapasitas ini dilakukan melalui berbagai cara seperti pelatihan-pelatihan, pendampingan di lapangan, ataupun lewat media seperti buletin dan film.

Radio komunitas mempunyai posisi yang strategis sebagai alat diseminasi nilai dan pengetahuan yang sudah didapatkan masyarakat melalui program RCL. Sebagai contoh, misalkan RCL telah memberikan pengetahuan atau membangun kapasitas bagi 10 orang di desa mengenai prinsip-prinsip keadilan jender. Dengan adanya radio komunitas ini, 10 orang tadi bisa menyebarkan ke masyarakat yang lebih luas mengenai pengetahuan yang sudah dimiliki dengan mengangkat isu lokal di daerahnya sebagai referensi pembahasan. Dengan adanya radio komunitas perguliran ilmu kepada khalayak lebih luas menjadi memungkinkan dan mudah dilaksanakan.

Kemudian, radio komunitas bisa mengangkat isu lokal yang sangat relevan dan dibutuhkan oleh masyarakat. Di 4 kabupaten dengan daerah pesisir tentu warganya mempunyai kepentingan yang besar terhadap sumber daya pesisir dan usaha pelestarian pesisir. Dalam hal pelestarian lingkungan pesisir, radio komunitas bisa menjadi alat desa untuk menyadarkan masyarakat mengenai pentingnya pelestarian mangrove. Mangrove bukan hanya menjaga agar tidak terjadinya abrasi, tetapi juga menjaga ekosistem pesisir agar tetap seimbang. Seperti halnya di wilayah pesisir Maros yang memerlukan zonasi dan penangkaran kepiting untuk menjaga keberlangsungan kepiting, radio komunitas bisa menjembatani proses sosialisasi yang dilakukan pemerintah desa terhadap masyarakat.

Di bidang ekonomi, radio komunitas bisa berkontribusi dalam menjaga stabilitas harga kepiting dan rumput laut. Mengingat seringkali masyarakat nelayan dibingungkan dengan informasi simpang siur. Radio komunitas bisa menggali informasi mengenai harga produk dari sumber yang kredibel. Dalam pembangunan ekonomi masyarakat desa, radio komunitas bisa berkontribusi misalnya dengan menyiarkan tentang perkembangan BUMDes, yang kemudian akan menghadirkan transparansi antara BUMDes dan masyarakat, sehingga muncul kepercyaan masyarakat terhadap BUMDes.

Dalam hal pembangunan desa yang partisipatif, radio komunitas bukan hanya sebagai alat sosialisasi pemerintahan desa, tetapi radio komunitas juga menjadi market of ideas bagi warga desa. Maksudnya, radio komunitas menjadi alat untuk menampung ide-ide masyarakat desa, memfasilitasi terjadinya dialog di masyarakat.

Radio komunitas juga bisa menjalankan fungsi pengawasan. Radio memfasilitasi warga desa untuk mengawasi bagaimana jalannya pemerintahan desa (mendorong transparansi), misalnya dengan menyiarkan rapat pengurus desa dengan BPD. Radio komunitas juga bisa menjadi alat untuk mendorong transparansi pejabat lokal, misalnya siaran langsung Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) Kepala Desa.

Konten siaran yang mendorong pembangunan di bidang ekonomi, pelestarian lingkungan, dan menjadi alat yang mewadahi gagasan masyarakat desa pesisir tentu  sangat relevan dengan kepentingan masyarakat pesisir. Konten lokal ini lah yang menjadi kelebihan dari radio komunitas, yang mendorong pembangunan masyarakat desa.

Perkembangan Radio Komunitas “Suara Pesisir”

Saat ini RCL telah memfasilitasi pendirian 3 radio komunitas. Radio pertama didirikan di Desa Nisombalia, Kecamatan Marusu, Kabupaten Maros. Radio kedua didirikan di Desa Pitue, Kecamatan Ma’rang, Kabupaten Pangkep. Sedangkan radio ketiga didirikan di Desa Pancana, Kecamatan Tanete Rilau, Kab. Barru. Ketiga radio ini bernama “Suara Pesisir”, dengan harapan bisa menjadi alat untuk menyuarakan kepentingan masyarakat di wilayah pesisir. Ketiga radio ini dikelola oleh lembaga penyiaran yang diawasi oleh Dewan Penyiaran Komunitas, yang diisi oleh warga desa dengan dukungan penuh dari pemerintahan desa.

Di Desa Nisombalia menurut penuturan Lukman-salah satu staff desa yang menjadi penyiar di Suara Pesisir Desa Nisombalia, siaran radio dibagi menjadi 3 jadwal, yaitu: jadwal pagi (10.00-12.00), jadwal siang (14.00-17.00), dan jadwal malam (20.00-23.00). Jadwal pagi digunakan untuk menyiarkan keperluan pemerintah desa seperti pendataan dan program pemberian bantuan. Jadwal siang digunakan untuk membahas soal kemasyarakatan seperti pertanian, pendidikan, dan pemberdayaan masyarakat. Sedangkan jadwal malam digunakan untuk hiburan dan bincang-bincang ringan.

Demikian juga di Desa Pitue, beberapa anak muda melakukan rembug dan mulai menyusun program siaran radio komunitas yang mencakup wilayah siaran di 3 desa. Selain menyiarkan informasi pemerintahan desa mereka juga memiliki jadwal siaran yang berisi materi kegiatan kelompok ekonomi dampingan RCL di wilayah tersebut.

Untuk manajemen saat ini lembaga penyiaran komunitas didampingi penuh oleh pihak RCL dan pemerintah desa. Prinsip radio komunitas yang non profit menuntut lembaga penyiaran menemukan cara terbaik untuk memenuhi kebutuhan operasionalnya. Saat ini RCL berhasil meyakinkan pihak pemerintah desa untuk memberi dukungan biaya pada radio komunitas, biaya operasional yang tidak besar membuat pemerintah desa tidak berkeberatan mengingat fungsi radio komunitas cukup besar.

Kedepannya, radio komunitas “Suara Pesisir” dalam usia yang masih belia ini diharapkan bisa meningkatkan kualitasnya, memperkaya konten siaran, dan meningkatkan sosialisasi agar masyarakat aktif mendengarkan dan berinteraksi melalui radio komunitas, sehingga sarana informasi dan komunikasi ini benar-benar berfungsi dan menjadi sumber informasi yang dipercaya oleh seluruh lapisan masyarakat.

(Asri Nuraeni)

Sumber: http://remotivi.or.id/kabar-tv/rating-nielsen-bias-jakarta diakses pada 21 Okt 2014, 14.22

Hegemoni: bentuk penguasaan terhadap kelompok tertentu dengan menggunakan kepemimpinan intelektual dan moral secara konsensus, artinya kelompok yang terhegemoni menyepakati nilai ideologis penguasa. Dalam konteks ini, media merupakan alat kontrol kesadaran publik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun